Ya, mungkin bagi sebagian besar orang, pernikahan dipandang sebagai penjara—di mana segala sesuatu tidak bisa lagi dilakukan sesuka hati seperti semasa lajang; ada aturan-aturan tak tertulis yang harus dijalankan setelah hari H pernikahan—yang pada akhirnya memupuk kesadaran untuk harus matang sebelum memutuskan menikah.
Mencermati data BPS mengenai angka pernikahan yang menurun, jika ditilik dari kaca mata saya sebagai perempuan, tentu memiliki banyak alasan yang menyertainya mengapa itu terjadi. Semua bisa dikemas dalam satu istilah:Â waithood.
Waithood adalah fenomena yang terjadi pada perempuan untuk menunda pernikahan (membina rumah tangga) —biasanya fase ini berlangsung cukup lama.
Dewasa ini, perempuan gen Z yang paling banyak memilih untuk waithood, meski tak sedikit juga generasi milenial yang melakukannya.
Kebanyakan perempuan yang memilih untuk masuk label 'waithood' biasanya sudah terliterasi dengan 'cukup' sehingga memiliki pemikiran yang cenderung terbuka—terutama perempuan di kota-kota besar, para perempuan ini dominannya adalah perempuan mandiri (independen);Â
mereka—memilih untuk—berdaya dan memiliki akses terhadap pekerjaan atau dengan kata lain tidak menggantungkan diri secara finansial pada laki-laki.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi UNAIR Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog yang saya lansir melalui web UNAIR;
dan seperti yang sudah disinggung pula di awal, arus kecepatan informasi menjadi ihwal yang tak bisa dibantah mengapa waithood ini terjadi seperti ramainya isu perselingkuhan (baik dari kalangan pesohor atau warga net yang sengaja membagi pengalamannya di media sosial) dan meningkatnya angka KDRT yang mungkin pula akan berimbas pada penelantaran anak di masa yang akan datang.
Baca juga:
Femisida Dini Sera: Pepesan Kosong "Fiat Justitia Ruat Caelum"?
Seolah belum cukup, alasan lain yang lebih PRINSIPIL juga menjadi faktor mengapa para perempuan memilih menunda pernikahan (baca: sangat selektif) seperti ingin memiliki pasangan yang bersedia berbagi rata kerja-kerja domestik rumah tangga dan kerja-kerja pengasuhan anak—semua semata-mata demi kesehatan fisik dan juga mental, termasuk pula keinginan hendak mengejar karir idaman sebagai bentuk aktualisasi diri.Â
Pentingnya empati terhadap perempuan.
Waithood selalu masuk kajian feminisme.
Akan menjadi sesuatu yang menarik dan mengapa terasa sangat linier membahas waithood dari perspektif feminisme yang di mana pada akhirnya para perempuan yang memilih waithood paham bahwa ia yang memiliki kendali (kuasa) atas dirinya (yang menolak digiring stigma penolakan di masyarakat), ia memiliki orientasi tujuan yang jelas serta tahu value-nya sebagai seorang perempuan—dan saya berpendapat tak ada yang salah dengan itu.