Menurunnya angka kelahiran di Jepang erat kaitannya dengan kecenderungan kebanyakan masyarakat Jepang yang belakangan menganggap memiliki anak sama saja memilih menyusahkan diri sendiri.
Faktor ekonomi ditengarai menjadi salah satu penyebabnya yang paling dominan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jepang adalah salah satu negara dengan biaya hidup yang tertinggi di dunia—yang apa-apa serba mahal, termasuk kewajiban membayar pajak.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah semakin meningkatnya kesadaran warga Jepang terhadap kesetaraan gender terutama bagi perempuan Jepang.Â
Bagi mereka, pergeseran nilai pandang yang konservatif dianggap tidak relevan lagi dewasa ini sehingga memilih untuk tidak menikah atau menikah tapi tidak ingin memiliki anak bukanlah aib (bukan sesuatu yang memalukan), konservatif yang dimaksud juga termasuk pula kultur patriarki juga masih mengakar kuat di Jepang.Â
Baca juga:
Han Kang yang Istimewa Peraih Nobel Sastra, Mendobrak Dunia dan Patriarki Korea
Kecepatan akses informasi.Â
Internet adalah paradoks.
Jika dirunut ke belakang, di Indonesia, dua dekade sebelumnya, akses internet masihlah sangat terbatas—bahkan sepuluh tahun belakang juga bisa dikatakan demikian.
Namun, tengoklah hari-hari ini semua orang akan dengan mudah mengetahui isu-isu terkini atau apa apa-apa saja yang sedang menjadi tren; semua semudah jari swipe.
Ya, kecepatan akses internet jelas sangat berpengaruh dalam menyajikan—banyak—informasi di berbagai bidang kehidupan dan ini boleh jadi memiliki korelasi terhadap menurunnya angka pernikahan di Indonesia, meski dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.Â
Familiar dengan isu marriage is scary bukan?
Tren ini tentu saja tidak muncul tiba-tiba—ia muncul karena menunggu momentum.Â
Fenomena waithood, penyebab hingga empati terhadap perempuan.
Saya sendiri menuliskan ini sembari tersenyum membayangkan lagi dalam kepala saya sebuah tulisan di kaos seorang laki-laki yang tertangkap mata saya beberapa hari yang lalu:Â Tahanan Istri.