Akhirnya, hari-hari ini datang juga—hari di mana pemerintah sudah mulai menunjukkan kekhawatiran dengan menurunnya angka pernikahan rakyatnya.
—
Melansir data dari Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Statistik Indonesia 2024 mencatat jumlah pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,51% pada tahun 2023 yakni sebanyak 1.577.255; turun sebanyak 128.093 dibanding tahun sebelumnya (2022) 1.705.348—bahkan terendah sejak BPS merilis data yang sama pada tahun 1997 yakni sebanyak 1.489.765 jumlah pernikahan.
Tren yang menarik, pikir saya.
Belum semengerikan Jepang.
Jika melandainya angka pernikahan di Indonesia dimaksudkan (ada kaitannya) untuk menghitung statistik jumlah penduduk melalui angka kelahiran maka apa yang terjadi di Indonesia JELAS tidak semengerikan apa yang terjadi di Jepang hari-hari ini.
Meski jumlah pernikahan di Jepang pada paruh pertama tahun ini mencapai 240.593 (naik 1.967 dari periode yang sama pada tahun 2023), tidak dengan angka kelahiran.
Baca juga:
Kasih Ibu dalam Kasus Femisida Dini Sera
Disari dari berbagai sumber, di Jepang ada sekitar 727.288 bayi lahir pada 2023. Angka tersebut merupakan jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.
Tren angka kelahiran yang terus menurun di Jepang berimbas pula terhadap banyak ditutupnya fasilitas bersalin di Jepang.
Sebuah survei yang dilakukan oleh NHK Jepang pada kurun September dan Oktober tahun ini menunjukkan bahwa hampir 60% kota di Jepang tidak mempunyai fasilitas bersalin—dan juga kekurangan dokter. Dari sekitar 1.700 kota, kota kecil, dan desa di seluruh Jepang, sebanyak 1.042 tidak memiliki fasilitas bersalin, terparah ada di prefektur Hokkaido, Fukushima, Tottori, dan Kochi (menyentuh 80%).
Wakil Presiden Asosiasi Dokter Obstetri dan Ginekologi Jepang Maeda Tsukio mengatakan jika makin banyak kota kehilangan fasilitas melahirkan, keselamatan persalinan di Jepang dapat terancam.