Setelah mengetahui—dari berbagai berita yang saya baca—jika Ronald Tannur divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya (yang terdiri dari Erintuah Damanik sebagai ketua dan Mangapul serta Heru Hanindyo sebagai anggota) pada 24 Juli 2024 yang lalu atas meninggalnya Dini Sera Afrianti, hati saya langsung tak karuan.
Berang sudah barang tentu, kecewa apalagi, prihatin pun tak berbilang; semua perasaan itu bergumul menjadi satu.Â
Ronald yang merupakan anak dari Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Edward Tannur itu memukul Dini menggunakan botol, melindas tangannya dengan ban mobilnya, dan memasukkan saja tubuh tidak berdayanya ke dalam bagasi.
Alih-alih membawanya langsung ke rumah sakit, Dini malah dibawa terlebih dahulu ke apartemennya sebelum dibawa ke rumah sakit—yang pada akhirnya dinyatakan meninggal karena death on arrival (idiom ini kerap digunakan dalam dunia medis sebagai kiasan seseorang yang meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit/layanan kesehatan terdekat yang bisa dijangkau).Â
Kronologi meninggalnya Dini membuat pilu. Bagaimana rasa sakitnya terlindas?
Cuma Dini yang tahu..
Namun, satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada ketiga hakim tersebut ketika itu:Â
para majelis hakim yang terhormat, apa kalian tahu apa femisida?
Ya, korban yang hilang nyawanya di tangan orang yang kalian bebaskan itu adalah korban femisida!
—
Femisida yang dimaknai 'biasa-biasa' saja
Femisida dalam arti sederhana adalah pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan SENGAJA karena jenis kelamin atau gendernya.
Baca juga:
Han Kang yang Istimewa Peraih Nobel Sastra, Mendobrak Dunia dan Patriarki Korea
Banyak motif yang melatarbelakangi mengapa femisida terjadi, di antara lain rasa cemburu, ingin memiliki (memandang perempuan sebagai obyek layaknya barang), merasa superior dan ingin terlihat dominan, ingin menguasai harta benda, atau merasa puas setelah melakukan femisida tersebut yang bisa saja masuk ke ranah gangguan kejiwaan.Â