Mengapa jantan atau tidaknya seorang laki-laki masih dominan diukur dari keberhasilannya membuahi seorang perempuan?
Jika ingin berpikir secara akal sehat, hook di atas—meski sulit untuk dibantah—justru merendahkan perempuan.
Saya pribadi, entah sudah tak berbilang lagi sering sebal jika ada narasi-narasi sumbang perihal perempuan yang direndahkan lewat kata-kata—baik secara terang-terangan atau bersembunyi dibalik narasi terpelajar—ataupun melalui tindakan.Â
Harus diakui bahwa konstruksi budaya secara kolektif mengambil peranan penting (meski tanpa disadari) dan ia digdaya membentuk pola pikir individu di masyarakat sehingga anggapan perempuan mutlak harus "tunduk" di bawah kuasa laki-laki menjadi sebuah kewajaran yang sengaja dibiarkan;Â
untuk itulah feminisme hadir.
Baca juga:
Praktik Eufemisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya
Feminisme—sejauh yang bisa saya pahami—adalah gerakan yang berangkat dari berbagai pengalaman perempuan; ia ada sebagai pendobrak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk setara dari hal-hal yang merugikan di banyak aspek kehidupan.Â
Pernikahan dengan relasi setara.
Hubungan ideal antar laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami-istri seharusnya adalah berbicara tentang relasi yang sejajar (tidak timpang); praktiknya diisi dengan dialog (komunikasi) sehat secara sadar demi konsen bersama (kesepakatan) tanpa embel-embel manipulatif.
Di atas adalah relasi setara pasangan suami-istri versi saya.
Makanya saya merasa tidak muluk-muluk—alih-alih disebut vokal—mengatakan kalau acuan keputusan seseorang menikah itu haruslah dilandasi tiga hal yakni secara seksual, mental, finansial;
dan sehat secara mental adalah yang paling sulit, bahkan terkadang tidak peduli sudah seberapa banyak seseorang itu terliterasi.Â
Baca juga:
Beberapa Diskursus di Antara Para Pembaca Buku