Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Digdaya Bahasa Jepang bagi Pekerja Asing

16 September 2024   06:08 Diperbarui: 16 September 2024   20:48 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belajar menulis huruf Hiragana. (Credit by Mikhail Nilov | Source Pexels.com) 

Magnet itu adalah Jepang. 

Tidak terlalu berlebihan menganalogikan Jepang demikian. 

Meski pertumbuhan ekonomi Jepang bisa dikatakan mandek sejak tiga puluh tahun terakhir—dan Yen terkoreksi melemah terhadap Dollar AS di tahun ini (bahkan terendah sejak 1986), tak menyurutkan niat calon para pekerja asing yang ingin bekerja di Jepang.

***

Berkaca pada populasi. 

Menurunnya jumlah tingkat kelahiran di Jepang dan semakin berkurangnya orang dengan usia kerja produktif (baca: akibat kematian) memaksa Jepang untuk terbuka terhadap para pekerja dari negara lain.

Berkaca pada hal itu, proyeksi kebutuhan akan tenaga kerja di Jepang tahun 2040 mencapai lebih dari 6 juta jiwa pekerja asing. Para pekerja ini akan mengisi pos-pos bidang kerja baik sektor formal atau informal di Jepang.

Sekadar informasi, beberapa dekade lalu, Jepang termasuk negara yang sangat tertutup terhadap para pekerja dari luar negara mereka.

Jepang dan aturan negaranya.

Di mana bumi dipijak di situ langit di junjung.

Rasanya peribahasa di atas sangat relevan sebagai sikap menghargai ketika kita menjejakkan kaki di luar dari tempat kita sebelumnya. Termasuk ketika berada di negara orang.

Jepang sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi kultur dan budaya, pun melakukan hal yang sama terhadap orang dari negara lain yang berada di negara mereka—dan bagi pekerja asing yang ingin bekerja di negara Jepang pakem "aturan tuan rumah yang berlaku bukan aturan tamu" adalah sesuatu yang sepertinya sulit untuk ditawar.

Baca juga:

Beberapa Diskursus di Antara Para Pembaca Buku

Konservatif dalam berbahasa asing, bagian mengekslusifkan diri? 

Teknologi—dan sains—adalah wajah Jepang di mata dunia tetapi tidak bagi sikap konservatif mereka dalam berbahasa asing;

menyoal berbahasa asing, hampir secara keseluruhan masyarakat Jepang tidak bisa berbahasa Inggris dan itu bukanlah fakta yang mengejutkan. Di Jepang, masyarakat yang mampu menggunakan bahasa Inggris hanya segelintir orang.

Di satu sisi Jepang adalah negara yang memegang teguh tradisi namun di sisi yang berbeda mereka tidak menolak perubahan, apalagi sejak era restorasi Meiji. 

Pertanyaannya, mengapa tidak banyak orang Jepang yang tertarik mempelajari bahasa asing, bahasa Inggris contohnya?

Ditinjau dari kacamata sosial dan budaya tentu ini menjadi menarik. 

Tetapi bukan itu poin utamanya.

Baca juga:

Simalakama Budaya Jalan Kaki di Indonesia

Kembali ke analogi di awal tulisan, Jepang adalah magnet—dan sebagai negara dengan paket komplit untuk para pekerja asing (baca: upah yang terbilang tinggi, tingkat kriminal yang rendah, biaya kesehatan yang berkualitas—dan terjamin serta transportasi yang terintegrasi dan lain sebagainya) membuat Jepang akan tetap menjadi primadona. Itu terbukti kian marak dibukanya berbagai LPK dengan tujuan Jepang.

Ilustrasi beberapa para pekerja asing sedang menunggu Shinkansen (kereta api cepat) saat jam pulang kerja. (Credit Hugo Sykes | Source Pexels.com) 
Ilustrasi beberapa para pekerja asing sedang menunggu Shinkansen (kereta api cepat) saat jam pulang kerja. (Credit Hugo Sykes | Source Pexels.com) 

LPK sendiri adalah kepanjangan dari Lembaga Pelatihan Kerja; dan semua LPK dengan tujuan Jepang akan menjadikan keterampilan berbahasa Jepang sebagai syarat WAJIB.

Syarat wajib inilah yang menjadi GONG; masyarakat Jepang mampu menjadikan "kelemahan" mereka sebagai kekuatan!

Digdaya bahasa Jepang untuk para pekerja asing.

Pakemnya jelas "aturan tuan rumah yang berlaku bukan aturan tamu"; ini akan bersifat memaksa bagi setiap pekerja asing yang hendak bekerja di Jepang—yang meski secara istilah "bersimbiosis" tetapi tidak pada praktiknya di lapangan.

Baca juga:

Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu Buruk

Formula yang dilakukan orang Jepang yang mengharuskan calon para pekerja dari negara lain untuk mempelajari bahasa negara mereka adalah sebuah kedigdayaan yang tak terbantahkan (baca: sesuatu yang kuat atau sakti; merujuk pada KBBI online). 

***

Untuk bekerja di negaranya, Jepang mengharuskan para pekerja asing mampu berbahasa Jepang—dan penguasaan bahasa Jepang ini akan menentukan kelayakan seorang calon pekerja mendapatkan visa (izin tinggal).

Secara umum (baca: yang menjadi acuan), level tingkatan berbahasa Jepang untuk bekerja di negara itu ada 5—dari tingkat terendah N5 hingga yang tertinggi N1.

Kelima level berbahasa ini adalah bagian dari Nihongo Nouryoku Shiken atau Japanese Language Proficiency Test (JLPT); 

JLPT adalah ujian kemampuan dasar berbahasa Jepang untuk orang yang bukan penutur asli. 

Ujian ini diselenggarakan dua kali dalam setahun.

Bagi para pekerja yang tidak mengharuskan interaksi yang intens dalam berkomunikasi, level N4 wajib dikuasai—untuk sektor-sektor kerja yang lebih resmi dan membutuhkan interaksi yang cukup banyak, levelnya bisa lebih dari itu. Level penguasaan bahasa ini juga tergantung dengan posisi kerja yang akan dilamar oleh calon pekerja. 

Membaca-menulis-mendengar. 

Penguasaan bahasa Jepang dimulai dari mempelajari huruf-huruf aksara Hiragana dan Katakana—ada lagi aksara Kanji yang lebih rumit dan juga Romaji (alfabet latin), hanya saja yang paling ditekankan adalah aksara Hiragana dan Katakana. Kemampuan ini menjadi fondasi awal kemahiran dalam berbahasa Jepang.

Ilustrasi belajar menulis huruf Hiragana. (Credit by Mikhail Nilov | Source Pexels.com) 
Ilustrasi belajar menulis huruf Hiragana. (Credit by Mikhail Nilov | Source Pexels.com) 

Selanjutnya, mempelajari kosakata dasar yang diucapkan sehari-hari, belajar membaca kalimat, menulis pola kalimat, dan kepiawaian mendengarkan serta berbicara.

Di LPK, ini wajib dipelajari dan menjadi yang utama sebelum keahlian (skill), cara beradaptasi terhadap budaya kerja, kesiapan mental dan lain-lain. 

Menyoal penipuan lowongan kerja, selalu saja ada, tak terkecuali lowongan kerja ke Jepang; bahkan penipuan oleh LPK pernah beberapa kali terjadi. Salah satunya kedok penipuan itu adalah dengan iming-iming bisa dipekerjakan ke Jepang melalui visa turis terlebih dahulu baru setelah di Jepang akan diurus visa pekerja. 

Itu jelas-jelas penipuan. Tidak ada aturan itu di Jepang. Oleh karenanya para calon pekerja diharapkan untuk lebih waspada dan teliti memilih LPK sebagai perantara. 

***

Secara simpulan, jika memang berencana ingin bekerja di Jepang maka mempelajari bahasa Jepang akan menjadi menguntungkan. Karena dengan fasih menguasainya maka segala kesulitan interaksi atau menghindari segala bentuk penipuan akan bisa dicegah;

dan bagi masyarakat Jepang, jika keterbatasan bahasa adalah tembok penghalang komunikasi maka mereka adalah representasi nyata bagaimana mereka berhasil membuat para pekerja asing menghancurkan sendiri tembok penghalang itu.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun