Teknologi—dan sains—adalah wajah Jepang di mata dunia tetapi tidak bagi sikap konservatif mereka dalam berbahasa asing;
menyoal berbahasa asing, hampir secara keseluruhan masyarakat Jepang tidak bisa berbahasa Inggris dan itu bukanlah fakta yang mengejutkan. Di Jepang, masyarakat yang mampu menggunakan bahasa Inggris hanya segelintir orang.
Di satu sisi Jepang adalah negara yang memegang teguh tradisi namun di sisi yang berbeda mereka tidak menolak perubahan, apalagi sejak era restorasi Meiji.Â
Pertanyaannya, mengapa tidak banyak orang Jepang yang tertarik mempelajari bahasa asing, bahasa Inggris contohnya?
Ditinjau dari kacamata sosial dan budaya tentu ini menjadi menarik.Â
Tetapi bukan itu poin utamanya.
Baca juga:
Simalakama Budaya Jalan Kaki di Indonesia
Kembali ke analogi di awal tulisan, Jepang adalah magnet—dan sebagai negara dengan paket komplit untuk para pekerja asing (baca: upah yang terbilang tinggi, tingkat kriminal yang rendah, biaya kesehatan yang berkualitas—dan terjamin serta transportasi yang terintegrasi dan lain sebagainya) membuat Jepang akan tetap menjadi primadona. Itu terbukti kian marak dibukanya berbagai LPK dengan tujuan Jepang.
LPK sendiri adalah kepanjangan dari Lembaga Pelatihan Kerja; dan semua LPK dengan tujuan Jepang akan menjadikan keterampilan berbahasa Jepang sebagai syarat WAJIB.
Syarat wajib inilah yang menjadi GONG; masyarakat Jepang mampu menjadikan "kelemahan" mereka sebagai kekuatan!
Digdaya bahasa Jepang untuk para pekerja asing.
Pakemnya jelas "aturan tuan rumah yang berlaku bukan aturan tamu"; ini akan bersifat memaksa bagi setiap pekerja asing yang hendak bekerja di Jepang—yang meski secara istilah "bersimbiosis" tetapi tidak pada praktiknya di lapangan.