Seorang user X tersurat sedang mengeluh di akunnya, yang kurang lebih bisa diartikan membaca buku tidak hanya persoalan individu melainkan juga persoalan sosial.
Ia mengambil contoh para pekerja, yang hidupnya sudah lelah dengan bekerja apalagi overwork, mana punya waktu untuk membaca buku. Belum lagi pendapatan yang pas-pasan mana bisa sering-sering beli buku—dan saling sahut komentar pun terjadi.
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial
Perdebatan ini lewat di timeline X saya bertepatan dengan hari kunjung perpustakaan 14 September; sengaja saya memang mengikuti topik "buku" di akun X sehingga segala pembahasan menyoal buku akan muncul.
Buku dan pengaruh
Hari kunjung perpustakaan tentu ada bukan tanpa alasan. Hari ini ada untuk mendorong minat baca. Ia berkorelasi erat dengan peningkatan sumber daya manusia.Â
Indonesia punya Bung Hatta sebagai orang yang tak perlu diragukan lagi kecintaannya terhadap buku dan membaca—atau Bung Karno, sang singa podium itu. Ia pula seorang pelahap buku.Â
Ya, orang-orang hebat yang vokal dan memiliki pengaruh, mereka dikenal boleh jadi karena kebiasaannya membaca buku kemudian mempraktikkannya—bahkan dari membaca lahir pula banyak penulis berbakat.Â
Membaca dan menulis adalah sebuah kausalitas.
Baca juga:
Praktik Eufimisme yang Tak Lekang Oleh Masa dan Kita Memakluminya
Seorang teman saya berkata, keadaan Indonesia hari-hari ini juga karena literasi masyarakat Indonesia yang masih terbilang payah. Termasuk pula di dalamnya budaya membaca yang masih rendah.Â
Mustahil bisa berpikir kritis kalau membaca adalah akar masalah—atau mungkin minat sudah ada namun akses terhadap bahan bacaan seperti buku yang masih menemui kendala.
Sungguh ironi.Â