Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Meneropong Zaken Kabinet ala Prabowo

11 September 2024   21:14 Diperbarui: 18 September 2024   11:07 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menteri dari kalangan profesional yang ahli di bidangnya. (Foto oleh August de Richelieu | Sumber Pexels.com) 

Kritik tajam diberikan mantan wakil presiden ke-10 dan ke 12, Jusuf Kalla terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim tatkala menyentil kinerjanya sebagai menteri yang jarang mengecek banyaknya permasalahan pendidikan yang ada di berbagai daerah di Indonesia. 

JK bahkan membanding-bandingkan Nadiem dengan beberapa nama para menteri pendidikan pendahulunya.

Baca juga:

X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial

JK menyoroti Nadiem karena Nadiem dinilai tidak cakap sebagai menteri (baca: karena ia bukan seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan) dan berharap di era pemerintahan presiden terpilih (Prabowo Subianto) kelak diisi oleh para menteri yang berpengalaman.

Baca juga:

Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan

Zaken kabinet dan para ahli

Seolah setali tiga uang dengan harapan JK, di lain sisi ada pula wacana Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang akan menerapkan zaken kabinet pada pemerintahan yang dibentuknya. 

Secara sederhana, zaken kabinet adalah kabinet yang diisi oleh mereka yang ahli di bidangnya (profesional);

ahli yang ditunjuk sebagai menteri nantinya bisa saja berasal dari suatu partai politik, tapi dengan catatan yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan terhadap partai tempat ia bergabung (?)—atau dengan kata lain, ia tidak merepresentasikan diri terhadap partai politiknya tersebut. 

Kabinet dengan sistem ini tidak melihat berapa jumlah kursi di parlemen—yang berarti pembentukannya sesuai penunjukkan presiden (baca: presiden menggunakan hak prerogatifnya).

Ilustrasi menteri dari kalangan profesional yang ahli di bidangnya. (Foto oleh August de Richelieu | Sumber Pexels.com) 
Ilustrasi menteri dari kalangan profesional yang ahli di bidangnya. (Foto oleh August de Richelieu | Sumber Pexels.com) 

Baca juga:

Pilkada Serentak 2024: Keterwakilan Perempuan Masih Sebatas Lipstik Politik?

Zaken kabinet pernah dilakukan beberapa kali pada era pemerintahan presiden Soekarno. Namun, yang paling mendapat perhatian adalah zaken kabinet yang diketuai Djuanda Kartawidjaja (yang dibentuk saat muncul ketidakstabilan politik pasca pemilu 1955).

Baca juga:

Riuh Pilkada: Rakyat dan Akrobat Politik Para Elit

Disari dari beberapa sumber, kabinet Djuanda bisa dikatakan sebagai zaken kabinet "murni" karena tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun; ia resmi dibentuk pada tanggal 9 April 1957. 

Namun, karena ada beberapa partai yang menentang dengan alasan tidak melibatkan partai politik sebagai pilar keempat demokrasi (yang seiring perjalanannya membuat kabinet ini melemah) membuat Presiden Soekarno memutuskan untuk membubarkannya pada 10 Juli 1959. 

Zaken kabinet di pemerintahan Prabowo, mungkinkah?

Berangkat dari tiga tujuan awal zaken kabinet terbentuk (sinergi keseluruhan kementerian, meminimalisir praktik korupsi dan memaksimalkan kinerja para menteri beserta kementerian yang dinaunginya), rencana Prabowo untuk menerapkan hal yang sama cukup memantik rasa penasaran publik.

Mungkinkah?

***

Pertanyaan itu akan menjadi sangat relevan mengingat dinamika politik di Indonesia saat ini.

Setidaknya ada tiga (3) hal mengapa wacana itu dipertanyakan:

#1 Berpotensi bikin kabinet "gemuk" 

Karena zaken kabinet dibentuk tidak melihat jumlah kursi di parlemen, rencana zaken kabinet Prabowo pun bisa jadi berpotensi gemuk—yang justru berdampak pada pemborosan anggaran.

Ini bisa terjadi mengingat koalisi partai politik yang mendukungnya pun pasti akan menyorongkan kandidat pilihan dari partai mereka masing-masing demi memperoleh jatah sebagai menteri.

Baca juga:

Menyelami Makna Adagium "Vox Populi Vox Dei"

Ini tentu bisa dicegah asal Prabowo benar-benar mempertimbangkan dengan matang siapa-siapa saja para profesional yang akan menjadi pembantunya (baca: kembali ke koridor awal bahwa zaken kabinet adalah kabinet yang diisi oleh para ahli—bukan semata-mata balas budi terhadap partai koalisi).

Potensi kegemukan ini juga nantinya bisa berasal dari kemungkinan kementerian baru yang akan dibentuk, seperti contoh, Prabowo sendiri telah berencana akan memisahkan Kementerian PUPR menjadi dua secara terpisah yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat.

Akankah Prabowo memecah dan membentuk kementerian baru lagi di pemerintahanannya kelak? 

Ini patut ditunggu.

#2 Adanya dualisme kepentingan

Meski tidak terelakkan (sebagai bentuk win-win solution) meski sebagian kuota menteri yang ditunjuk Prabowo nantinya adalah seorang profesional namun berasal dari partai politik tertentu, tampaknya Prabowo harus bekerja "ekstra". 

Ini bisa jadi akan menimbulkan masalah—karena akan sulit tampaknya bagi menteri tersebut menjalani peran dengan "dua kaki".

Disatu sisi ia adalah penyelenggara negara yang bertanggung jawab langsung terhadap presiden (baca: yang secara horizontal juga bertanggung jawab terhadap rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi) namun di sisi lain ia adalah "petugas" partai yang menjalankan perannya sebagai seorang politisi—terlepas ia memiliki kepentingan secara langsung atau tidak di sistem kepartaiannya tersebut. 

Baca juga:

Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat

Oleh karenanya, Prabowo harus aktif mengawasi menteri dengan dua kaki seperti ini—karena kepentingan rakyat di atas segalanya.

Ilustrasi seorang profesional yang ahli di bidangnya dalam mengerjakan sesuatu. (Foto oleh Cottonbro Studio | Sumber Pexels.com) 
Ilustrasi seorang profesional yang ahli di bidangnya dalam mengerjakan sesuatu. (Foto oleh Cottonbro Studio | Sumber Pexels.com) 

#3 Praktik nepotisme?

Jika salah satu tujuan terbentuknya zaken kabinet adalah untuk menekan praktik korupsi, belum tentu dengan praktik nepotismenya.

Penunjukan para profesional langsung oleh Prabowo kelak mungkin berpotensi disusupi kepentingan pribadi dari Prabowo itu sendiri atau keluarganya atau koleganya; dengan alasan menteri tersebut ahli di bidangnya namun berasal dari salah satu yang disebutkan tadi, penunjukan itu tentu akan menjadi sorotan. 

Dewasa ini, segala bentuk kebijakan dapat diendus; pers dan rakyat adalah dua sinergi yang tak terpisahkan.

***

Pada akhirnya zaken kabinet dibentuk tidak jauh-jauh sebagai usaha untuk meminimalisir peran partai politik yang memang tampaknya dominan—sekaligus sebagai tantangan seorang presiden (baca: dalam hal ini Prabowo Subianto) untuk memilih orang-orang terbaik dan cakap;

jika mengacu pada tekad Prabowo sebagai presiden untuk melayani rakyat maka zaken kabinet pun dibentuk semata-mata untuk seluas-luasnya kepentingan rakyat.

Tabik.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun