Aksi kawal putusan MK minggu lalu oleh gabungan elemen masyarakat—yang sebagian besar pada praktiknya di lapangan dimotori oleh mahasiswa di beberapa daerah di Indonesia—memaksa KPU membuat PKPU Pilkada dan telah pula menjadikannya UU.
Aksi kawal putusan MK tersebut terjadi karena adanya constitutional disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi) padahal putusan MK bersifat tetap dan final (erga omnes).
Putusan MK ini seharusnya tidak menjadi perdebatan hingga memancing polemik di ranah publik kecuali ada yang mengacaukannya—dan yang membuatnya kacau justru adalah mereka yang telah diberi mandat oleh rakyat sebagai anggota dewan yang terhormat.
Putusan MK dan konstelasi politik
Banyak orang yang bukan pengamat politik (baca: lebih suka mengamati dinamika perpolitikan dari balik layar) merasa berhak mengeluarkan pendapatnya di ranah publik tiap kali pemilu digelar (Pilpres dan Pilkada)—ini adalah bentuk fungsi sosial masyarakat (rakyat) sebagai warga negara;
dan elemen masyarakat yang berdemonstrasi (menggugat demokrasi) di depan gedung DPR baru-baru ini menjadi bukti bagaimana hak bersuara dengan cara lain itu ditampilkan.
Baca juga:
Budaya Malu dan Keterwakilan Rakyat
Demonstrasi rakyat itu pun akhirnya membuat DPR batal mengesahkan RUU Pilkada (untuk dijadikan UU) yang telah sempat disusun sebagai draft sebelumnya (baca: demi menganulir putusan MK).
Hasilnya, tentu saja mengubah konstelasi politik yang ada.Â
Pilkada dan yang menjadi sorotan
Riuh Pilkada kali ini sebenarnya—setidaknya—terkonsentrasi pada dua (2) hal yakni mencegah kian mengakarnya praktik politik dinasti di pemerintahan dan;Â
bagaimana Pilkada Jakarta menempati urutan pertama sebagai cermin demokrasi kita dalam memilih calon kepala daerah.Â