Tidak ada KAWAN, tidak ada LAWAN; yang ada hanya KEPENTINGAN.
Di bawah bayang-bayang tirani penguasa, refleksi dari kalimat di atas adalah NYATA; antiklimaks banner lambang negara Garuda berlatar warna biru dengan tulisan Peringatan Darurat di hampir semua platform media menjadi bukti bagaimana kekuasaan ditampilkan sudah lebih dominan dari wajahnya yang sesungguhnya.
Baca juga:
Tren Dumb Phone Menggugat Realitas
***
Sehari setelah MK membuat putusan menyoal ambang batas (threshold) partai atau gabungan partai yang tak lagi harus mengumpulkan 20% kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah beserta wakilnya (ambang batas 6,5-10% sudah dianggap sah—bergantung pada Daftar Pemilih Tetap);Â
dan mengubah batas usia minimum 30 tahun calon kandidat peserta saat Pilkada 2024 dihelat (bukan usia saat penetapan sebagai Kepala Daerah oleh KPU), sekelompok orang yang oleh rakyat diberi MANDAT sebagai wakil mereka berusaha menggugat putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Putusan MK yang semula dianggap menjadi sinyal baik dan angin segar bagi tatanan hidup bernegara (dengan memberikan kesempatan para kandidat yang memiliki kompetensi dan kredibilitas untuk berlaga dalam kontestasi politik tanpa terhalang threshold) justru dianggap menjadi ancaman buat mereka yang merasa berkuasa.Â
Dengan dalih bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menjalankan fungsi legislatif yang ada dalam kendali mereka, para dewan rakyat (melalui Badan Legislasi) ini buru-buru bersiasat (mengadakan pertemuan pada malam hari) untuk membahas bagaimana "menganulir" (merevisi UU Pilkada) bentukan MK tersebut lalu membawanya ke sidang paripurna keesokan harinya.Â
Tapi, sebagai rakyat yang sudah jengah, semua elemen masyarakat pun merasa terpanggil nuraninya untuk mengawal putusan MK (yang putusannya dibuat bukan hanya semata-mata untuk mengembalikan marwahnya)Â melainkan juga untuk menjaga demokrasi agar tetap pada rel yang sebenarnya.
Indonesia, negara yang secara terang-terangan berlandaskan demokrasi—apalagi sejak pasca reformasi 98—hari-hari ini memang tampaknya sudah melenceng jauh sekali dari cita-cita revolusinya; hukum dan konstitusinya pun diacak-acak—hanya demi melanggengkan kekuasaan (dinasti dan kroninya).Â
Peringatan Darurat adalah bentuk respon kekhawatiran tentang bagaimana kepercayaan yang telah diamanatkan rakyat namun justru DIKHIANATI oleh elit (para dewan yang terhormat)—dan penguasa.
Hilangnya budaya malu?
Pertanyaannya:
apakah budaya malu yang hilang (dengan mengatasnamakan rakyat yang justru dinilai oleh rakyat sendiri bukan sebagai bentuk keterwakilan rakyat) pada diri anggota dewan yang menjadi penyebabnya?