"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo, yang bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya mantap memutus sebuah gugatan perkara dalam sidang putusan/ketetapan pada Selasa, 30 Juli 2024—hanya satu hakim yang kukuh dissenting opinion.Â
Adalah Leonardo Olefins Hamonangan, seorang warga Bekasi yang meminta Undang-Undang itu diuji: Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam gugatan yang tercatat dengan nomor perkara 35/PUI-XXII/2024 (yang sidang pendahuluannya sendiri sudah dimulai 5 Maret 2024 yang lalu), Leonardo menggugat agar batas usia pelamar kerja pada setiap lowongan kerja, dihapuskan.Â
Menurut Leonardo, batas usia kerja justru akan berpotensi menimbulkan diskriminasi oleh para pemberi kerja karena pemberi kerja bisa saja memilih pekerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan seperti berpenampilan menarik atau usia para pelamar kerja itu sendiri.Â
***
Menyoal praktik batas usia kerja, tentu saja bukan isapan jempol—ia "nyata".Â
Tidak peduli di sektor formal atau informal, batas usia (pelamar) kerja seolah menjadi screening awal (sebelum pendidikan dan keahlian) di hampir setiap lowongan. Sudah banyak orang yang dibuat patah arang oleh syarat ini dan pula menjadikannya momok.Â
Baca juga: "Bayaran" Fotografer di Antara Perang Harga dan Hukum Supply-Demand
Meliris data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 4,82 persen (sementara
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 53,41% sedangkan laki-laki sebesar 83,87%—menyoal ketimpangan ini akan saya bahas di tulisan yang lain) dengan rata-rata upah buruh sebesar 3,04 juta rupiah per bulan.Â
Jika mengacu pada data tingkat pengangguran terbuka di atas dan mencocokkannya dengan putusan para hakim (batas usia kerja dianggap bukan diskriminasi), maka tak pelak bisa saya katakan ini akan menimbulkan masalah ledakan pengangguran yang mungkin jumlahnya akan lebih besar lagi di kemudian hari (yang tampaknya juga akan berbanding lurus dengan angka kriminalitas).Â
Pertanyaannya, ke mana akan perginya mereka yang berusia 25 tahun ke atas ini (baca: lowongan kerja hari-hari ini menerapkan batas usia kerja di usia 25 tahun) sementara daya serap mereka justru dibatasi?;
belum lagi mereka berpotensi pula dikalahkan oleh mereka yang memiliki jalur "ordal".Â
Baca juga: Dari Daycare, Orang Tua Pekerja dan Masalah Sistemik di Dalamnya
Usia kian melaju, lapangan kerja terbatas, sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditawar, jadilah mereka yang berusia 25 tahun ke atas ini dipaksa untuk memiliki daya tahan dan daya juang melebihi para pencari kerja yang—masih—masuk kategori kriteria;
namun, meskipun demikian, mereka tetap tekun menebar amplop cokelat lebih banyak—lagi dan lagi—sembari berharap para pemberi kerja mendapat "pencerahan" untuk sekadar mempertimbangkan mereka lolos ke tahap wawancara alias tidak gugur di medan (berkas) administrasi awal.
Baca juga: Nego Gaji Bukan Cuma Soal Hitung-hitungan Melainkan Tantangan
Jikapun pada akhirnya mereka "kalah" setidaknya mereka sudah pantang menyerah; jikapun pada akhirnya pekerjaan yang akan mereka lakoni tidak sesuai harapan (baik ditilik dari latar belakang pendidikan atau pendapatan yang akan dihasilkan) setidaknya mereka sudah mencoba menerobos dinding tebal: batas usia kerja.Â
***
Menyoal gugatan batas usia kerja (yang dinilai oleh para pencari kerja sebagai hal yang justru mempersulit mereka dalam mendapatkan pekerjaan) yang putusannya sudah final, sebenarnya ada 2 hal yang menurut saya ini memang (batas usia kerja) selayaknya dihapuskan.
#1 Menyukai ritme yang "jelas" dan teraturÂ
Ya, adanya jam kerja dan rincian kerja yang menjadi tugas (job desk) menjadikan seseorang memiliki ritme yang jelas dan teratur, sekalipun sejak awal mungkin jam kerjanya diterapkan dengan pola shifting.Â
Selama itu masih 40 jam per minggu, selama lembur masih dibayar, mendapat hak libur, atau apa-apa saja yang masih bisa ditolerir, maka rasa-rasanya para pekerja ini masih bisa diajak "berdamai";
meskipun tentu masih selalu saja ada para pemberi kerja yang menyalahi aturan.Â
Atau boleh dengan tegas saya katakan pada poin ini, menjadi pekerja, seseorang setidaknya mendapatkan kepastian pendapatan, terlepas itu bisa dikatakan mencukupi atau tidak.Â
Karena jelas sudah, seseorang bekerja—khususnya untuk middle lower class (kelas menengah ke bawah)—BUKAN semata-mata untuk kaya melainkan pemenuhan kebutuhan dasar hidup terlebih dahulu.Â
Apakah ritme yang jelas dalam "bingkai" keteraturan itu salah?Â
#2 Ingin mengaplikasi disiplin ilmu yang diambil
Tiap tahun selalu ada lulusan-lulusan baru (anak sekolah SMA/SMK atau sederajat); pun sarjana-sarjana baru dari tiap jurusan yang akan membuat persaingan di antara para angkatan kerja kian sengit.Â
Baca juga: Puan di Antara Flexing Gaji dan Jabatan
Persaingan sengit dimulai dari menebar amplop cokelat: di mana ada perusahaan yang baru buka dan tengah mencari kandidat maka di sanalah mereka berada.Â
Tengoklah pula saban kali ada pameran job fair, mereka layaknya seperti rombongan semut yang pada gula mereka terpikat.
Di sinilah poin kedua berbicara: tak semua para pencari kerja ingin memiliki usaha; tak semua dari mereka mau berwirausaha atau menjadi pengusaha.
Ini tak semata-mata hanya perkara modal, tak pula semata-mata perihal karena "tak semua orang berani ambil risiko".
Boleh jadi para pencari kerja ini mencintai apa yang ia kuasai yang menjadi keahliannya; ingin menerapkan disiplin ilmu yang diambilnya (selama menempuh pendidikan akademik).
Apakah ini juga salah?Â
Bukankah di "tangan" orang yang cakap dan ahli di bidangnya suatu pekerjaan akan ditangani dengan baik dan akan memberikan kontribusi yang baik pula bagi si pemberi kerja?Â
Sebaliknya, jika semua orang berwirausaha, jika semua orang menjadi pengusaha, lantas siapa yang menjadi pekerja bagi mereka dan ke mana pula orang-orang yang ahli di bidangnya itu harus dicari?Â
***
Untuk dilirik para HR atau pemberi kerja maka lulus lah tepat waktu: selesaikan sks yang diambil atau tekunlah dalam belajar, hadapi dan temui pembimbing bagaimana pun caranya, kurangi tertawa—fokus.Â
Bukan apa-apa karena batas usia kerja—sekali lagi—nyata adanya.Â
***
Namun, ada satu pertanyaan menggelitik buat saya, jika putusan menyoal batas usia kerja dinilai bukan termasuk diskriminasi, apakah mereka yang berusia 25 tahun ke atas yang dipersempit upayanya mencari kerja BUKAN termasuk diskriminasi?
Ini sebenarnya bagi saya tak lebih hanya sekadar membenturkan para pencari kerja dengan para pemilik modal—namun sebagai jawabannya, kita tahu siapa yang "kalah".Â
Bila sudah pernah menjadi korban dari syarat ini semoga kelak ketika telah mampu mempekerjakan orang, kita tidak melakukan hal yang sama.Â
Hingga pada akhir kesimpulan yang bisa saya katakan adalah para pencari kerja—kita—sebenarnya sedang mengambil bagian dari salah satu paradoks kehidupan:Â
masa-masa yang sulit akan menciptakan manusia-manusia kuat.Â
Menyoal manusia kuat, saya jadi teringat penggalan kalimat seorang sensei pemilik toko sushi dalam dorama Jepang kesukaan saya:Â
orang yang mudah rapuh tidak akan pergi jauh ke mana-mana dan orang yang kuat tidak akan diam di tempat.Â
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H