Klinik kecantikan namanya atau kita kenal sebagai beauty clinic dalam bahasa Inggris.
Namun, ada yang menarik, mengapa dia disebut klinik kecantikan?Â
Dari namanya saja, bagi saya, sudah memantik kesan aneh.Â
Mengapa tidak klinik "estetika tubuh" sebagai gantinya (karena memang tindakan yang dilakukan tidak hanya menyasar pada wajah namun bagian tubuh yang lainnya juga)?
Mengapa tidak demikian disebut secara gamblang—alih-alih klinik kecantikan?
Menurut salah satu penerjemahan KBBI sendiri kata cantik adalah elok, molek (tentang wajah perempuan) sehingga mengacu hal itu seharusnya "hanya" perempuan saja yang boleh mendatanginya sementara laki-laki tidak.Â
Jika demikian, jika laki-laki tidak boleh, maka oppa-oppa (atau laki-laki yang pernah atau kerap ke sana) seharusnya menjadi paradoks.Â
Ya, Oppa-oppa manis yang menciptakan fenomena: menghentak khalayak: Korea menjadi representasi nyata bagaimana klinik kecantikan beserta prosedurnya bekerja. Di sana, tidak hanya artis-artis yang sering berkunjung, namun hingga ke kalangan biasa.Â
Di negara kita, klinik kecantikan tidak menyasar laki-laki sebagai targetnya. Klinik kecantikan tidak seperti barber shop yang ramah terhadap laki-laki. Di sini,
klinik kecantikan bukan mainan para laki-laki; sejak awal klinik kecantikan memang ditujukan untuk perempuan.
Menyoal klinik kecantikan sendiri maka dengan berat hati saya katakan, klinik kecantikan menjamur karena—memang—memanfaatkan rasa tidak percaya diri calon pasiennya (terutama perempuan).Â
Pergeseran Nilai di Masyarakat
Standar kecantikan yang bergeser yang menyebabkannya demikian.Â
Cantik itu harus putih, glowing, tanpa jerawat, no flek, hidung mancung, tidak bergelambir, payudara besar, dan lain sebagainya.
Saya kerap melihat iklan-iklan seperti ini berseliweran di laman-laman media sosial atau di portal-portal internet; tentang bagaimana mereka membangun ketidakpercayaan diri orang-orang.Â