Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hikikomori di Jepang: Ternyata Tidak Memiliki Anak Tidak Selalu Buruk

25 Juli 2024   15:36 Diperbarui: 26 Juli 2024   07:33 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangan mungil bayi baru lahir yang digenggam ibunya. (Foto oleh Helena Lopes; Sumber Pexel) 

Boleh jadi, karena para orang tua di Jepang beranggapan jika tidak bisa memberikan "yang terbaik"—alih-alih sempurna di tiap fase kehidupan si anak—lebih baik tidak memiliki anak (ada pula sebagian lagi yang menganggap anak adalah sumber masalah dan satu-satunya cara untuk tidak mendatangkan masalah tersebut tentu saja tidak bersinggungan dengannya?).

Karena penurunan populasi yang parah inilah (baca: yang berdampak akan lenyapnya Jepang dari peta dunia), pemerintah Jepang kian gencar "merayu" pasangan yang telah menikah untuk memiliki anak. 

Dimulai dari jaminan biaya hidup (terutama untuk keluarga yang memiliki penghasilan rendah) hingga berita yang terbaru akan membiayai pendidikan hingga jenjang S3 untuk tiap anak yang dilahirkan.

Fenomena Hikikomori

Hikikomori sedang marak di Jepang dan pemerintah Jepang sedang berjuang untuk mengatasinya.

Informasi ini saya ketahui dari salah satu dari dua saluran berita yang saya anggap terpercaya untuk saya ikuti di WhatsApp.

Hikikomori sendiri adalah tindakan mengasingkan diri dari dunia luar yang yang dilakukan oleh masyarakat Jepang akhir-akhir ini dengan tetap tinggal di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun‌.

Ilustrasi orang yang kesepian. (Foto oleh Engin Akyurt; Sumber Pexel) 
Ilustrasi orang yang kesepian. (Foto oleh Engin Akyurt; Sumber Pexel) 

Tidak main-main, menurut data dari berita yang saluran WhatsApp-nya saya ikuti, peningkatan jumlah pelaku Hikikomori meningkat tajam di tahun 2023 dengan jumlah mencapai hampir satu juta jiwa dan 36% di antaranya justru adalah lansia berusia 50 hingga 60 tahunan.

Pelaku Hikikomori adalah orang-orang yang tertekan secara psikis dan seperti yang kita tahu bersama, Jepang adalah salah satu negara yang memiliki masalah yang cukup serius yang berhubungan dengan kesehatan mental, hal itu dibuktikan dengan kecenderungan yang tinggi dari masyarakatnya untuk bunuh diri.

Hikikomori dan kesehatan mental masyarakat Jepang

Ada sebuah canda sarkas seorang warganet di media sosial yang berkata etos kerja dan betapa disiplinnya terhadap waktu, orang Jepang tak perlu diragukan lagi tapi tidak dengan feel lonely mereka.

Ya, budaya orang Jepang yang tidak boleh terlihat gagal di mata masyarakat dan tidak terbiasa membagi keluh kesah—alih-alih meminta bantuan orang lain—membuat orang-orang Jepang memiliki masalah terhadap apa yang dinamakan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun