Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Seorang Ibu Sangat Dekat dengan Gangguan Kejiwaan

3 Februari 2023   23:02 Diperbarui: 14 Februari 2023   11:30 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang ibu yang bahagia. (Sumber Pexel | Foto oleh Antoni Shkraba) 

Menjadi seorang ibu sangat dekat dengan gangguan kejiwaan.

Diperbolehkan untuk merasa heran dengan pernyataan saya di atas. Namun, rasa heran itu akan saya uraikan pelan-pelan dengan singkat dalam tulisan pendek kali ini.

Pointer pembukanya akan saya awali dengan pertanyaan:

ada berapa banyak laki-laki (baca: sampel saya kali ini saya ambil tidak akan jauh-jauh cukup di Indonesia saja) yang benar-benar suportif dalam pengasuhan tumbuh kembang anak?;

tidak cuma semata-mata ikut membantu pasangannya—melainkan benar-benar secara bersama-sama aktif merawat, mengasuh dan mendidik dalam keseharian.

Mengapa demikian? 

Karena menurut saya, kata kerja "membantu" bukan kata yang tepat, dalam kata membantu beban tanggung jawab jelas tidak sama dengan yang dilakukan secara bersama-sama.

Tapi, lihatlah apa yang terjadi? Masih jauh panggang dari api. 

Masih segelintir sekali dari banyaknya bilangan jumlah yang kita ketahui mengenai laki-laki yang benar-benar mau secara sadar terlibat. 

Berapa banyak laki-laki yang bersedia repot memikirkan asupan gizi anaknya setiap hari, atau yang benar-benar mau bersedia mendampingi fase belajar anaknya di sekolah?—dan lain sebagainya. 

Ada—tapi laki-laki idaman (baca: suami) yang seperti itu tidak banyak atau tidak ingin dikatakan langka. 

Baca juga: Suami-able dari Kacamata Seorang Feminis

Semua tugas itu lebih banyak (baca: nyaris) dilakukan dan didominasi oleh perempuan—para ibu.

Inilah muasalnya—yang jadi cikal bakal segala kegaduhan sosial di negeri kita. 

Lihatlah di berita-berita akhir-akhir ini, lihat betapa banyak para ibu yang pada akhirnya melakukan kekerasan pada anaknya (baca: baik secara fisik, verbal ataupun psikis. Bahkan terkadang tak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa sang anak).

Ilustrasi seorang calon ibu yang memegang rest pack. (Sumber Pexel | Foto oleh SHVETS Production) 
Ilustrasi seorang calon ibu yang memegang rest pack. (Sumber Pexel | Foto oleh SHVETS Production) 

Ambil satu contoh yang beberapa waktu lalu terjadi—yang padanya pula Presiden Jokowi menaruh perhatian—ada seorang ibu yang memberikan kopi kemasan pada bayinya yang baru berusia tujuh bulan yang diunggah ke akun media sosialnya dan menuai viral. 

Baca juga: Berkarya Demi Viral, Yakin Brandingmu Sudah Personal? 

Tak hanya di berita saya rasa, kekerasan yang terjadi pada anak yang dilakukan ibu ini mungkin terjadi di lingkungan terdekat kita—atau bisa jadi sebagian dari kita pelakunya tanpa kita menyadarinya?!

Lantas, apa perlu kita merasa heran—atau memang tak perlu merasa heran—gangguan kejiwaan lebih banyak menyerang para perempuan yang berstatus sebagai ibu? 

Jangan terlalu cepat menodongkan telunjuk dan menyalahkan mereka meski apa yang mereka lakukan tidak bisa dikatakan benar.

Hanya sedikit yang mau berbagi peran

Saya tak akan berbicara banyak dari sudut pandang psikologi menyoal hal tersebut karena saya bukan ahlinya. 

Tetapi saya ingin melihatnya dari sisi humanis yang dekat dengan keseharian kita; saya hanya ingin mengatakan bahwa sepertinya ada yang salah tentang bagaimana peran antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga pada masyarakat kita, terlebih lagi ketika sudah memiliki anak.

Ini terjadi karena tidak semua laki-laki bersedia berbagi peran. Toxic masculinity yang mengakar kuat lah yang menciptakannya. 

Baca juga: Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental dan Finansial

Ilustrasi seorang ibu yang bahagia. (Sumber Pexel | Foto oleh Antoni Shkraba) 
Ilustrasi seorang ibu yang bahagia. (Sumber Pexel | Foto oleh Antoni Shkraba) 

Kebalikannya, peran perempuan akan seratus delapan puluh derajat berubah setelah menikah dan peran itu kemudian bergerak dan bertambah pula setelah memiliki anak. 

Perempuan seolah dituntut untuk bisa segalanya, bahkan acapkali berperan ganda dalam satuan waktu tanpa jeda—tak peduli ia memiliki jubah kebesaran profesi atau tidak.

Parenting itu penting

Padahal catatannya jelas, menjadi orang tua membutuhkan komitmen dengan kesungguhan yang penuh—dan tidak berat sebelah. 

Seharusnya sekali sepasang suami-isteri sudah berencana melakukan program kehamilan maka kesadaran menyoal ini pun sudah mulai harus tumbuh.

Pengalaman merawat, mengasuh dan mendidik anak jauh lebih berharga daripada pengalaman program hamil itu sendiri. 

Pada tahapan ini proses belajar laki-laki dan perempuan sebagai ayah dan ibu terjadi. Karena dari ayah dan ibu yang sudah belajar lah seorang anak akan belajar kelak.

Tak elok membiarkan seorang ibu merawat, mengasuh dan mendidik dengan sungguh seorang anak, sementara ayah si anak cukup sambil lalu. 

Membiarkan itu terjadi sama halnya memberikan peluang kelelahan fisik dan mental pada seorang ibu—dan tentu saja itu akan memberikan dampak tidak baik bagi anak di tengah-tengah keluarga tersebut.

Percayalah, agak naif dapat menerapkan ilmu parenting jika hal krusialnya saja belum terpenuhi yakni memastikan sang ibu dalam keadaan baik—alih-alih bahagia.

Tabik. 

Baca juga: Setop Mengganggu Anak yang Sedang Bermain Sendiri, Ini 4 Alasannya 

Catatan:

Artikel ini dibuat tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun; ditulis untuk sebagai pembelajaran bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun