Jujur saja sebagai seorang blogger yang tidak konsisten menulis di Kompasiana dengan rentang waktu yang sudah agak cukup lama, saya merasa perlu untuk menuliskan tulisan ini—anggap saja sebagai bentuk "pemanasan" demi membangun ulang portfolio saya di Kompasiana—meski tidak dalam urgensi apapun saya menuliskannya; meskipun sehari-hari saya selalu disibukkan juga dengan kegiatan menulis, hanya saja di platform dan cara menulis yang berbeda.Â
Tidak untuk semua orang
Paragraf kedua tulisan kali ini—yang sekaligus sebagai tulisan perdana saya di tahun 2023—saya buka dengan pernyataan bahwa tidak semua orang SANGGUP menulis!
Mengapa saya katakan demikian?Â
Karena menulis adalah sebuah pekerjaan berpikir dan merasa tentang bagaimana seseorang mampu untuk olah pikir dan olah rasa.
Sepertinya sedikit setali tiga uang dengan apa yang dikatakan D’Angelo (1980:5) yang menyatakan bahwa menulis adalah belajar berpikir dalam dengan cara tertentu.
Ya, menulis adalah proses belajar berpikir secara mendalam; cara lain pula untuk berpikir runut.Â
Saya tidak mengatakan runut yang saya maksud HARUS dan MUTLAK dari A-Z; tidak ada kamus baku menyoal itu. Saya pun tidak melakukan itu saban kali karena dengan begitu saya tidak leluasa menyelipkan kejutan-kejutan dalam tiap kalimat yang saya buat. Terlepas apapun bentuk tulisan yang saya tulis.Â
Menulis tidak sekaku itu, bosku.Â
Menurut hemat saya, runut yang saya maksud adalah kepiawaian seseorang dalam menyesuaikan tiap-tiap poin pokok pikiran dengan komposisi yang pas sehingga masih enak dibaca dan dipahami oleh siapapun yang akan membaca tulisan itu.Â
Yang dipertaruhkan dalam menulis
Menulis bukan sesuatu yang dilakukan sambil lalu; bukan pekerjaan multi tasking dalam satuan waktu tertentu—menulis membutuhkan ruang waktunya sendiri.
Mungkin bagi siapa saja yang hari-harinya bergelut dengan tulis-menulis, kegiatan menulis bukan menjadi hal yang—terlalu—sulit untuk dilakukan.
Jika bisa saya simpulkan menulis dikerjakan oleh mereka yang memang SENGAJA mengkhususkan waktunya untuk menulis.
Waktu yang dipertaruhkan!Â
Ada Omega, ada Alfa
Jadi, jika tak semua orang saja bisa sanggup menulis, lalu bagaimana dengan konsistensi seseorang dalam menulis? Bagaimana pula penerapan konsistensi menulis di antara rutinitas sehari-hari yang jelas-jelas menguras waktu, tenaga, dan pikiran, apalagi ketiga hal tersebut berasal dari pekerjaan atau profesi?Â
Semua berpulang pada TUJUAN awal (baca: Alfa; mula-mula) di mana seseorang itu memantapkan hati untuk menulis.Â
Banyak alasan kuat yang melatarbelakangi mengapa seseorang ingin menulis di antara jebakan rutinitas sehari-hari.Â
#Berawal hobi akhirnya cinta mati
Saya berani bertaruh, tak satu pun dari mereka yang memiliki minat terhadap menulis tidak suka membaca.
Karena penulis yang baik adalah pembaca yang tekun.Â
Dari yang hobi membaca mulailah timbul kritik dalam hatinya semacam "ah, ngga benar nih artikel" atau "ah, segini doang?" atau "kayaknya kalau aku yang nulis bisa lebih baik deh dibandingkan penulis ini".Â
Maka, kalau kritik itu diteruskan menjadi tindakan nyata, mungkin boleh jadi menulis pun akan jadi hobi karena ada rasa lega tersendiri ketika satu tulisan selesai dibuat—meskipun ia sendiri pada akhirnya merasa selalu ada yang kurang dengan hasil akhir tulisan tersebut. Setidaknya, itu yang selalu saya rasakan.
Bukan tidak mungkin hobi yang digeluti hari demi hari itu akan menjadi kebutuhan batin tersendiri. Terasa kurang jika tidak melakukannya (baca: menulis) walau hanya tiga atau empat paragraf pendek dalam sehari; terlepas apapun media tulisnya.Â
#Jubah lain profesi
Menulis juga menjadi cara seseorang berbicara banyak mengenai spesifikasi keahlian yang ia bisa; menulis adalah jubah lain profesi.Â
Dokter, psikolog, pengacara, banker, seniman, dan profesi lainnya dapat menuangkan buah pikiran dari apa yang pernah mereka hadapi menyoal kegiatan mereka sehari-hari (baca: pengalaman) yang boleh jadi tidak semua orang tahu. Saya salah satunya yang profesi sebagai seorang fotografer menjadikan menulis sebagai wadah bertutur dan bercerita.Â
Baca juga:Â Male Gaze dalam Sastra "Mata" Seorang Fotografer Kecantikan
Terkadang, alasan berangkatnya sederhana: mereka memiliki waktu yang terbatas dalam membangun komunikasi verbal secara langsung dengan teman atau kerabat setiap hari; siapa yang mau mendengar sesuatu yang itu-itu saja?
Tapi, dengan menulis, kesempatan itu diberikan sebebas-bebasnya.
Dengan menulis, para ahli ini ingin berbagi manfaat lebih, bahkan tak sedikit para ahli ini menulis sesuatu diluar dari bidang keahlian yang digeluti—sesuatu yang ia sukai seperti cerita pendek, novel, atau puisi.Â
Baca juga: Yang Terjadi Setelah Sarapan Pagi
Menulis adalah bentuk eksistensi seseorang dalam kehidupan yang dapat meninggalkan jejak.
#Cuan...cuan...cuan...Â
Tak ada yang bisa menjamin pasti berapa nominal yang bisa dihasilkan dari menulis.
Cuan hasil menulis bisa datang dari mana saja beserta segala kemungkinannya, seperti bisa saja dari pemimpin redaksi media yang dituju yang jatuh hati saat membaca satu tulisan atau berasal dari selera pasar berdasarkan keterbacaan tulisan di mesin pencari.Â
Hanya saja, perlu dicatat, sebagus-bagusnya tulisan akan dikalahkan oleh rasa malas membaca orang-orang.Â
Kebanyakan orang akan lebih suka menganggarkan uang bulanannya untuk nonton bioskop daripada membeli buku—atau berapa banyak orang yang mau berlangganan dengan label "premium" sebuah portal berita online di telepon selularnya?
Tapi, walaupun demikian seseorang yang memutuskan menjadikan menulis di antara jebakan rutinitas tak menjadikan cuan sebagai acuan.Â
Karena baginya menulis adalah dialog tidak langsung dengan banyak orang yang dilakukan meskipun acapkali tidak dapat dilakukan dengan baik di dunia nyata.
Jadi, konsisten menulis di antara jebakan rutinitas memangnya demi apa?
Jawabnya mungkin ada dalam penggalan kalimat seorang Seno Gumira Ajidarma ini:
apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H