Baca juga: Yang Terjadi Setelah Sarapan Pagi
Menulis adalah bentuk eksistensi seseorang dalam kehidupan yang dapat meninggalkan jejak.
#Cuan...cuan...cuan...Â
Tak ada yang bisa menjamin pasti berapa nominal yang bisa dihasilkan dari menulis.
Cuan hasil menulis bisa datang dari mana saja beserta segala kemungkinannya, seperti bisa saja dari pemimpin redaksi media yang dituju yang jatuh hati saat membaca satu tulisan atau berasal dari selera pasar berdasarkan keterbacaan tulisan di mesin pencari.Â
Hanya saja, perlu dicatat, sebagus-bagusnya tulisan akan dikalahkan oleh rasa malas membaca orang-orang.Â
Kebanyakan orang akan lebih suka menganggarkan uang bulanannya untuk nonton bioskop daripada membeli buku—atau berapa banyak orang yang mau berlangganan dengan label "premium" sebuah portal berita online di telepon selularnya?
Tapi, walaupun demikian seseorang yang memutuskan menjadikan menulis di antara jebakan rutinitas tak menjadikan cuan sebagai acuan.Â
Karena baginya menulis adalah dialog tidak langsung dengan banyak orang yang dilakukan meskipun acapkali tidak dapat dilakukan dengan baik di dunia nyata.
Jadi, konsisten menulis di antara jebakan rutinitas memangnya demi apa?
Jawabnya mungkin ada dalam penggalan kalimat seorang Seno Gumira Ajidarma ini:
apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunya hal yang membuat kita ada.
Tabik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H