Saya contohnya, saya kerap mengamati pola dan tingkah keponakan saya ketika ia sedang bermain sendiri.
Pernah satu kali, keponakan saya mengambil satu buku anak miliknya dan mengamati dengan sangat serius buku itu sembari berkomat-kamit yang ia lakukan sendiri dengan bahasa bayinya.
Saya amati dari kejauhan, ia membuka pelan-pelan tiap lembar buku tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi saat itu ia sedang recall (baca: mengulang kembali) sebagian memori dalam kepalanya tentang apa yang pernah saya katakan saat saya—atau orang tuanya—membacakan buku cerita itu untuknya.
#2 Memusatkan fokus
Mungkin kita sepakat, bermain adalah salah satu kebutuhan dasar bagi seorang anak (baca: bahkan Samantha Elsener, seorang Psikolog Klinis yang konsentrasi bidangnya pada psikologi anak mengatakan bermain adalah 1 dari 10 hak dasar anak)—
dan untuk anak yang memutuskan bermain sendiri tanpa melibatkan orang lain, mohon jangan diganggu.Â
Sekali lagi jangan diganggu—bahkan untuk hal-hal yang tak perlu. Meski cuma untuk menjawab sekadarnya demi memuaskan pertanyaan yang ada dalam kepala kita.
Karena meski bermain hanya dengan dirinya sendiri, sebenarnya seorang anak tengah melatih rentang fokus yang dimilikinya.
Dengan kata lain, distract dari kita (baca: meski sebelumnya kita lakukan setelah kita memastikan ia tidak dalam keadaan bahaya hanya karena tak bersuara karena asyik bermain sendiri)Â hanya akan membuyarkan fokus yang mungkin sudah ia bangun dengan susah payah.
Kita bisa berinteraksi dengannya nanti setelahnya (baca: ketika ia bosan dan tak lagi melanjutkan kegiatan bermainnya itu).
#3 Mandiri sejak dini
Melatih kemandirian adalah manfaat lain yang bisa diperoleh dari kegiatan bermain sendiri yang dilakukan seorang anak.
Fakta nyata yang mengiringinya adalah selama kegiatan tersebut si anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengenal dirinya—bebas menjadi dirinya sendiri.