Jika ditanya sejak kapan saya mulai menyukai anak-anak—serta mempelajari apa saja tentang mereka—maka saya pun tidak tahu pasti jawabnya.
Boleh jadi mungkin sejak melihat wajah-wajah polos mereka saban kali, atau ketika saya mengalami sendiri dunia kanak-kanak saya di tahun 90-an yang begitu penuh cerita dan warna—atau boleh jadi pula almarhumah ibu yang mengajarkannya secara tersirat pada saya.
Tak lekang rasanya dalam ingatan saya tentang almarhumah ibu saya yang sering mampir ke kamar saya hanya untuk sengaja membelai rambut saya dan mencium kening saya diam-diam ketika saya tidur; yang sebenarnya tanpa ia tahu, (baca: pun saat saya menyadarinya karena belum lelap tertidur) saya sering memilih untuk tidak bangun demi membiarkan beliau melakukan itu pada saya.
Ya, tak peduli berapapun usia saya, tak peduli saya jarang berkata "aku sayang Mama", ibu kerap melakukan itu ketika larut malam menjelang.
Pun terhadap kedua adik saya.Â
Beberapa kali, saya pernah mendapati ibu melakukan hal yang sama terhadap kedua saudara saya tersebut dan itu adalah pemandangan yang manis untuk saya lewatkan percuma.
Seperti ibu yang melakukannya diam-diam, saya pun mengamatinya diam-diam.
Begitu pula saat di lapangan, ketika saya bertindak sebagai official photographer, saya kerap memotret anak-anak kecil: mengabadikan mereka dalam frame saya dengan begitu rupa—semisal momen itu bercerita tentang upaya mereka yang bersikap manis meski duduk kaku di kursi undangan, atau saat mereka ada di gendongan ayah atau ibu mereka.
Meski terkadang tangan tak sampai selalu menyapa atau menggendong mereka (baca: entah karena ibunya yang dari kejauhan terlihat jutek atau bapaknya yang kelewat manis sehingga akan berpotensi membuat saya kesengsem) tapi senyum saya sangat sulit untuk saya tahan.
Bidik tanpa kikik—dan voila, tahu-tahu ada saja file foto dengan wajah-wajah seperti mereka—dengan atau tanpa mereka menyadarinya.