Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jaminan Persalinan Bukan Solusi, Saya: Tidak Menyentuh "Akar" Masalah

31 Juli 2022   17:42 Diperbarui: 1 Agustus 2022   01:42 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang calon ibu yang memeriksakan kehamilannya sebelum hari h persalinan. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Mart Production) 

Anda tidak salah baca judul, kok. 

Ya, sebagai salah satu warga negara yang dilahirkan, bertempat tinggal dan mencari cuan di Indonesia, saya tegaskan saya salah satu orang yang sebenarnya tidak setuju jika kebijakan ini (baca: jaminan persalinan) diterapkan—apalagi jika dipermanenkan dalam jangka panjang. 

Tapi, tenang dulu, saya tidak akan membuat para pembaca kejang-kejang di awal tulisan. Simpan pula dulu dugaan yang sekiranya menyangka saya tidak berpihak pada rakyat yang dengan golongan tidak mampu ini (baca: rakyat miskin). Pun karena saya juga belum ditakdirkan sebagai seorang crazy rich ketika menuliskannya. 

1,2,3 atau 4?

Sudah jadi rahasia umum, punya anak adalah life goal kedua yang oleh—sebagian besar—masyarakat kita dimaknai "ideal", setelah menikah tentunya. Jika seseorang tidak berada salah satu atau salah dua dari keduanya (baca: atau belum?) maka pantaslah orang tersebut dianggap belum sempurna sebagai seorang manusia. 

Entah siapa yang memulai "doktrin" jelek ini, yang jelas sekalipun saya menggugatnya, rasanya percuma. Anehnya, sistem ini langgeng  di masyarakat kita.

Sebagai seorang fotografer pernikahan selalu saya mendengar wejangan ini tentang sepasang anak manusia yang didoakan agar lekas memiliki anak—yang mungkin tak disarankan hanya satu atau dua, melainkan banyak. Padahal malam pertama saja dengan pasangan yang dinikahinya saat itu belum, ya kan?

Ups. 

Baca juga: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan

Baca juga: Menggelar Hari H Pernikahan Tak Semudah Rahang Bilang Sayang

Saya kadang bertanya dalam hati, tak cukupkah mendoakan pasangan itu agar berbahagia saja sepanjang usia pernikahan mereka—dengan atau tanpa mereka harus memiliki anak? Bagaimana jika pada kesudahannya mereka tidak—ingin—memiliki anak, alih-alih memang tidak bisa memilikinya? 

Akankah mereka langsung dianggap sebagai sepasang manusia yang gagal? 

Lalu, bagaimana dengan childfree? 

Baca juga: Keputusan Gita Savitri yang Memilih Childfree, Diam-diam Sebenarnya Kita Ingini

Ilustrasi seorang ibu yang melihat bayinya yang sedang tidur. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Sarah Chai) 
Ilustrasi seorang ibu yang melihat bayinya yang sedang tidur. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Sarah Chai) 

Ayo, lihat lebih jeli

Seperti yang sudah saya singgung secara tersirat, sampailah saya dengan analogi sederhana ini bahwasanya: 

memiliki anak tak semudah saya misuh (baca: atau kita) di laman media sosial tentang sesuatu yang dirasa dangkal.

Tidak—tidak seperti itu cara mainnya; akan banyak masalah-masalah lain yang mengiringi—sebelum atau sesudah—setelah menetapkan keputusan untuk memiliki anak. 

Permasalahan-permasalahan menyangkut anak ini terlalu kompleks sebenarnya untuk dijelaskan—bisa dikatakan dari hulu ke hilir sering banyak keliru ya dibandingkan benarnya—dan tentu saja menguras daya pikir, namun sesuai topik pilihan mengenai jaminan persalinan untuk masyarakat tidak mampu, izinkan saya menguraikannya pelan-pelan. 

Sebagai gambaran (baca: demi masuk ke uraian topik pilihan kali ini) beberapa hari yang lalu adik perempuan saya lewat di salah satu jalan utama yakni di perempatan lampu merah rumah sakit swasta berskala internasional yang ada di kota saya, Palembang (baca: jalan tersebut boleh dikatakan sebagai jalan di jantung ibukota) dan mendapati satu ironi yang cukup memiriskan hati—terlepas benar atau tidaknya. 

Betapa tidak, seseorang mengenakan boneka (baca: memasukkan diri ke dalamnya)—katakanlah sejenis boneka mampang—dan men-da-da juga berjoget ala kadarnya sembari menyodorkan kantong plastik permen pada setiap pengendara yang sengaja ia datangi.

Ketika saya tanya jenis boneka apa yang orang itu kenakan pada adik saya, adik saya tidak ingat, yang ia ingat hanya tulisan yang ada di dada baju si boneka, yang pada intinya memohon rupiah demi persalinan isterinya (baca: seperti saya katakan tadi, terlepas ini benar atau tidak. Saya berharap orang dibalik boneka tidak sedang berusaha memancing empati orang dengan tulisan di dada baju pakaian bonekanya). 

Seolah belum cukup satu contoh nyata, saya pun pernah mendapati seorang ibu duduk mengemis bersama bayinya di sekitar pelataran SPBU saat saya mengantri membeli bensin. Kotak kardus yang di bawa si ibu—serupa tapi tak sama— bertuliskan memohon belas kasih demi membeli susu anaknya. 

Jangan tanyakan reaksi saya bagaimana. Sama seperti sebagian orang lainnya, saya pun terkadang kehabisan kata-kata. 

Dari sini secara dini saya simpulkan bahwa program jaminan persalinan untuk masyarakat tidak mampu ini tidak bagus-bagus amat, kok meski bukan berarti tidak memberikan manfaat, khususnya untuk masyarakat tidak mampu itu sendiri. 

Jika tujuannya memang untuk menekan angka kematian ibu, jaminan persalinan tidak bisa semata-mata dijadikan "alat" oleh pemerintah—alih-alih malah akan membuat citra pemerintah "cacat" bagi sebagian orang yang mungkin sedikit jeli melihat apa-apa saja yang jadi akar masalahnya. 

Doktrin jelek 

Dan untuk masyarakat sendiri, penerapan istilah "banyak anak banyak rezeki" sudah kuno jika ditilik dari perkembangan zaman yang kian dinamis, termasuk istilah "tiap anak punya rezekinya masing-masing" (baca: beranggapan bahwa anak adalah investasi masa depan. Maafkan jika saya pada akhirnya, berbicara dalam konteks feminisme yang saya pahami).

Saya berkata demikian setidaknya jika itu dilihat dari sisi si anak yang boleh jadi di masa yang akan datang memiliki kedua orang tua atau keluarga yang tak begitu "cakap" saat si anak ada dalam pengasuhan mereka. 

Perlu digarisbawahi, bukankah anak tidak bisa memilih "bentukan" orangtua seperti apa yang akan menjadi orang tuanya kelak? 

Versus yang berbeda 

Tidak bermaksud membanding-bandingkan—bukan cuma jadi buah bibir lagi—bahwasanya negara kita jauh tertinggal dari segi persiapan menyiapkan kelahiran demi kemajuan satu generasi.

Sebagai contoh, ada hal menarik dari seorang teman media sosial saya di Twitter yang berujar kalau ada seorang koleganya di UK yang istrinya mau melahirkan beberapa bulan yang lalu.

Teman saya ini baru tahu kalau di sana ada semacam assessment wajib social service yang datang ke rumah untuk mengecek kelayakan "mampu ngurus anak ngga?" dari berbagai aspek. 

Worst case scenario: anaknya diambil negara. 

Ceritanya, koleganya teman media sosial saya ini rumahnya sedang direnovasi ketika itu—dan petugasnya mengultimatum kalau saat bayinya lahir proses renovasi rumah harus sudah selesai karena tidak sehat buat bayi. Jadi, mau tidak mau, ya, ia setop renovasi rumahnya itu di tengah jalan untuk mematuhi ultimatum tersebut. 

Memang tidak Apple to Apple membandingkan Indonesia dengan UK (baca: yang warga negaranya dibebankan pajak yang tinggi namun pada akhirnya hasil dari pajak itu balik dinikmati oleh warga negara yang bersangkutan)—

tapi kita harus dengan legowo mengatakan UK (baca: dan juga beberapa negara lain yang serupa UK) sangat menjunjung hak-hak seorang anak dan itu dipersiapkan dengan sangat dini—bahkan jauh sebelum anak dilahirkan. 

Sementara di sini?

Di sini yang ada kita malah dicekoki mending nikah muda daripada zina.

Yang sayangnya, para orang tua—kita—sendirilah yang merongrong seorang anak untuk segera menikah, tak peduli jika si anak yang dirongrong untuk menikah ini apakah sudah siap secara seksual, mental dan finansial—atau belum? 

Baca juga: Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental, dan Finansial

Sehingga, pada kesudahannya kerap kita dengar kasus-kasus kriminal seputar kekerasan dalam rumah tangga (baca: yang lebih banyak dipicu oleh permasalahan ekonomi, alih-alih perbedaan prinsip) atau penelantaran anak—mungkin termasuk pula pada akhirnya, tidak adanya biaya saat akan melahirkan—yang pula memicu pemerintah membuat banyak kebijakan yang salah satunya kebijakan yang telah ada sejak tahun 2011 ini (baca: jaminan persalinan). 

Jangan senang dulu

Lagipula jaminan persalinan yang disodorkan pemerintah ini hanya bersifat instruksi (baca: yang ada masa kadaluarsanya, yang tahun ini berakhir di Desember 2022) yang dilakukan oleh presiden terhadap masyarakat tidak mampu dengan label "fakir miskin" (baca: yang pula non BPJS) yang mungkin pada penerapannya tidak semua rumah sakit, klinik atau praktik bidan mandiri memberlakuannya (baca: hanya fasilitas milik pemerintah yang menerapkan)—sekali lagi perlu saya tegaskan, kebijakan ini hanya INPRES bukan UU, yang sifatnya memaksa yang jika dilanggar dapat mengakibatkan sanksi . 

Perlu digarisbawahi pula jaminan persalinan ini tidak membiayai penyakit diluar persalinan, misalnya si calon ibu memiliki riwayat tekan darah tinggi—atau penyakit lainnya. 

Edukasi dua arah

Saya tidak mengatakan seseorang harus kaya raya dulu untuk memiliki anak, kalau demikian adanya repot seluruh dunia persilatan, saya juga bisa banyak musuh kalau begitu. Padahal saya orangnya cinta damai. 

Ilustrasi dua anak cuku. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Ketut Subiyanto) 
Ilustrasi dua anak cuku. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Ketut Subiyanto) 

Yang ingin saya katakan, para calon orang tua ini harus bisa dikatakan "MAMPU" terlebih dahulu sebelum memiliki anak. 

Namun, sebelum memutuskan memiliki anak, ada—salah satu—hal substansial yang harus diterapkan baik kita sebagai masyarakat atau kita yang memiliki "power" sebagai pemerintah, yakni:

saling mengedukasi

Edukasi yang dimaksud jelas tentang kemampuan yang layak sebagai orang tua, seperti yang saya katakan tadi (baca: yang ditinjau dari segala aspek kehidupan) yang pada muaranya tentu ditujukan untuk anak.

Bagi masyarakat, ini bahkan bisa dimulai dari hal-hal kecil sebelum memiliki anak seperti menabung atau berinvestasi (baca: berkali-kali lipat jika memang ingin memiliki anak)—bahkan cara ini bisa pelan-pelan diterapkan jauh sebelum menikah—atau tunda terlebih dahulu memilikinya jika dirasa belum layak sebagai orang tua (perkaya pula diri dengan ilmu-ilmu parenting tentang bagaimana menjadi orang tua yang bijaksana yang bisa didapat melalui banyak membaca buku atau bisa dengan lebih mudah mendapatkannya melalui banyaknya info yang berseliweran di internet dewasa ini, meskipun kita juga harus pilah-pilih).

Hingga izinkan saya mengatakan ini:

bukankah "esensi" sebuah pernikahan—secara jamak dipahami—adalah menua bersama dalam jangka panjang dengan orang yang kita kasihi dan menciptakan kebahagiaan setelahnya, sementara anak adalah pelengkap dari pernikahan itu?

Baca juga: Internet Masa Kini: Di antara Pengetahuan Seputar Kesetaraan Gender dan Pilihan Saya Menjadi Seorang Feminis 

Pertanyaannya, bagaimana kalau "kebobolan"? 

Jawabnya, kan sudah ada tabungan sebelum—memutuskan—memiliki anak?! Itu bisa digunakan untuk biaya persalinan (baca: jantung tulisan ini menyoroti tentang biaya persalinan bukan?) 

Tapi, jangan lupa, setelahnya mungkin kebiasaan menabung (baca: demi anak) akan menjadi kewajiban bagi para orang tua dan berkali-kali lipat harus diupayakan agar anak yang dilahirkan mendapat hidup layak. 

Terapkan pula budaya "tidak ambil pusing" tentang apa kata orang jika memang belum—memutuskan—memiliki anak, sekalipun itu datang dari orang tua sendiri. 

Di sinilah pula pentingnya "saling mengedukasi" berperan—lantangkanlah pelan-pelan. 

Bagi pemerintah, bisa dimulai lagi dengan tak hanya menggalakkan kampanye "dua anak cukup" melainkan ditambah pula dengan "punyalah anak, jika mampu". 

Itu salah satu yang bisa dilakukan untuk menekan angka kelahiran yang membludak yang berpengaruh pada banyak hal seperti kualitas jumlah sumber daya manusia, pendapatan perkapita negara, peruntukkan kas negara atau yang jadi jantung utama topik kali ini yaitu menekan jumlah angka kematian ibu. 

Pertanyaan lain timbul: kok, instrumen negara melalui pemerintah bisa masuk ke ruang privat warga negaranya? 

Sangat disayangkan memang, tapi jika memang dirasa perlu, saya akan mendukungnya. Karena menurut saya, ada masalah lain yang menyertainya dan itu (mau tidak mau) akan saya jawab dengan:

negara belum mampu sepenuhnya mengambil masalah ini (baca: penerapan pasal UUD menyoal fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, masih jauh panggang dari api. Boro-boro diambil negara?!)—

jadi saya tidak mau menambah "masalah". 

Tidak ada gunanya berkoar jika solusi jangka panjang bisa dimulai dari diri kita sendiri. 

Bagus atau tidaknya generasi mendatang dimulai dari keputusan kita hari ini.

Kualitas tumbuh kembang seorang anak dalam pengasuhan orang tua menentukan kualitas generasi satu negara. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto oleh Kazena Krista) 
Kualitas tumbuh kembang seorang anak dalam pengasuhan orang tua menentukan kualitas generasi satu negara. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto oleh Kazena Krista) 
Mari berpikir secara sadar dan bertanggung jawab bahwa mengadopsi seorang anak saja, kita sebagai orangtua angkat harus dikatakan "layak" apalagi memiliki anak dari darah daging sendiri. 

Di akhir tulisan, yang ingin saya katakan adalah jaminan persalinan tidak cukup jadi solusi jika "akar-akar" masalahnya tidak secara baik dan jernih disikapi. 

Jangan sampai ada istilah, kita yang "ena-ena" kok ujung-ujungnya orang lain yang dipaksa untuk empati.

Tabik. 

Catatan:

Tulisan ini adalah murni opini saya dan mungkin ada beberapa hal dalam penulisannya yang missed tentang cara saya menyikapi menyoal topik ini dan oleh keterbatasan ruang tulis pula tidak memungkinkan bagi saya memperjelasnya dalam artikel ini. Semoga untuk dimaklumi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun