Itu terjadi—tepatnya—sejak saya tinggal bersama kakek dan nenek (baca: orangtua dari mama).Â
Mama berseloroh, mungkin nafsu makan saya bertambah karena nenek jago masak dan makanan hasil olah masakannya enak-enak.Â
Secara keseluruhan, sejak itu nafsu makan saya membaik dan itu berdampak dengan berat badan saya yang semakin naik.
Ya, salah satu faktor naiknya berat badan saya adalah asupan nutrisi—alih-alih saya menduga masa puber adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.Â
Buktinya bisa dilihat dengan ukuran tubuh saya yang perlahan tambun—meski dalam berbilang tahun saya katakan tidak terlalu signifikan: hanya, jujur saja, tubuh dengan tinggi sekitar 160 sentimeter dan berat badan rata-rata 60-an kilogram CUKUP membuat saya cepat kelelahan dalam melakukan segala macam aktivitas yang menyangkut olah fisik saat berkegiatan.Â
Memang saya pernah sedikit kurus saat saya menyusun tugas akhir namun bentuk tubuh tambun saya balik lagi setelah semuanya selesai.Â
Sekadar informasi, saya bukan orang yang tergila-gila berolahraga—setidaknya tidak terlalu sering dibandingkan saat pandemi Covid19 (baca: sejak pandemi saya tiap hari workout mandiri melalui aplikasi yang sengaja saya unduh meski hanya 5-10 menit—itu saya lakukan jika jogging di seputaran komplek rumah tidak memungkinkan. Dengan kata lain, pandemi berkontribusi bagi saya untuk lebih aware berolahraga untuk kesehatan).Â
Baca juga:Â "Komat-kamit Covid", Bertahanlah untuk Hidup Itu Lebih dari CukupÂ
Untuk mengelola stres sendiri, saya masih belum dikatakan sebagai ahlinya (baca: saya masih terus belajar)—apalagi jika ada satu hal yang jadi bahan pikiran saya.Â
Tapi, meskipun demikian—meskipun saya kerap diterjang stres, apalagi soal deadline kerjaan—berat badan saya tidak juga cepat turun.Â