Untuk catatan, artikel ini bersifat opini dan murni menjadi tanggungjawab saya. Untuk yang punya opini bersebrangan, tak apa. Anggap saja kita sedang berdiskusi melalui media tulisan.
Belakangan ini hari-hari saya diisi dengan percampuran antara membaca, menulis dan menahan diri untuk tidak berkomentar pedas—dan sungguh, hal yang terakhir benar-benar sangat menjengkelkan dan juga menguras pikiran.
Meskipun saya tahu tidak semua masalah di dunia ini patut saya komentari, tetapi tetap saja, saya seolah tak bisa menghindar untuk masalah yang satu ini.
Singkat saja, satu dari sekian masalah yang saya soroti untuk kemudian saya komentari adalah saya beranggapan seorang laki-laki H-A-R-U-S memiliki penghasilan sendiri sebelum menikah.
Bagi saya, ini sesuatu yang sangat mutlak sebagai prinsip.
Ada musabab mengapa saya terpaksa mengatakan itu.
Adalah seorang laki-laki umur menjelang dua puluh tahun—dan menurut katanya hanya lulusan SMA—tapi kepengen (baca: jika tidak ingin dikatakan sudah kebelet) menikahi kekasih yang sudah hampir tiga tahun dipacarinya. Hanya saja, dia masih pengangguran. Belum berpenghasilan.
Laki-laki muda ini berujar dia pernah bekerja, tapi karena gajinya kecil, dia memutuskan berhenti dan masih jobless hingga sekarang.
Sementara kekasihnya sendiri—menurut penuturannya lagi—juga sedang berjuang mencari pekerjaan.Â
Dia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Riwayat singkat keluarganya, bapaknya seorang pensiunan dan ibunya seorang ibu yang mengurus rumah tangga.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya keinginan laki-laki muda ini?—tentang bagaimana seolah dengan sederhananya dia memandang tidak pentingnya persiapan untuk menikah.
Tapi, saya rasa tidak cuma dia. Saya berani bertaruh, banyak anak-anak muda di luar sana yang seperti ini—atau bisa jadi ada orang seperti laki-laki muda ini di sekitarmu.
Yang saya tahu menikah harus menyertai tiga faktor kesiapan: siap seksual, siap mental (termasuk di dalamnya spiritual) dan siap finansial.
Dan menyoal siap finansial adalah penghasilan yang dicari dengan usaha sendiri—bukan ujug-ujug dari jatah warisan. Meskipun bisa saya katakan, dengan warisan seseorang sudah mendapat hak "khusus" di mata penilaian orang-orang.
Bukan dengan cara itu—yang saya maksudkan adalah memiliki penghasilan yang berasal dari upayanya sendiri (baca: jika bercermin dengan kasus yang saya komentari di awal)—dan menurut saya, ada dua alasan yang menyertainya—mengapa laki-laki wajib memiliki penghasilan sebelum menikah.
#1 Bentuk tanggungjawab
Laki-laki HARUS berpenghasilan.
Bagi saya, tak ada istilah laki-laki duduk manis di rumah hanya dengan menghabiskan batang demi batang rokok atau bercangkir-cangkir kopi (baca: jika keduanya memang dilakukan karena candu) serta membuang kuota internet dengan percuma, tanpa menghasilkan apa-apa—dengan kata lain HANYA mengandalkan "pembiayaan" hidupnya dari orangtua.
Jika laki-laki sebelum menikah saja tidak bisa "mengawali" tanggungjawab terhadap dirinya sendiri (baca: tidak berpenghasilan), bukan tidak mungkin laki-laki tersebut kelak akan membiarkan tanggungjawab nafkah keluarga—hanya—diemban oleh isteri?Â
Namun perlu digarisbawahi, saya tidak mengatakan bahwa puan tidak boleh bekerja (baca: sebagai penyokong kebutuhan keluarga atau sebagai bentuk aktualisasi diri) dan hanya di rumah dengan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus seluruh urusan domestik rumah tangga sekaligus menjaga anak setelah menikah (baca: hingga nyaris kelelahan dan tak sedikit menjadi sumber keluhan)—sementara beban pencarian nafkah mutlak diberikan pada laki-laki sebagai suami;
Bukan pula tidak membolehkan laki-laki menjadi bapak rumah tangga sementara isterinya berjuang mencari nafkah (baca: sedikit informasi, saya sendiri tidak semata-mata berpegang teguh atau mutlak tunduk pada istilah "harga diri laki-laki adalah bekerja dan menafkahi"—melainkan menganut konsep "setara" dan "saling" untuk segala urusan dalam rumah tangga yang pada praktiknya melakukan negosiasi antar pasangan).
Kedua pola tersebut akarnya terletak pada sistem atau budaya yang sejak semula manusia sendiri yang membuatnya (baca: yang justeru membuat manusia susah sendiri dan seringkali jadi bumerang).
Bukan—jelas bukan itu yang saya maksudkan.
Pada intinya, ini bukan tentang jumlah nominal uang yang dihasilkan laki-laki melainkan bentuk konkret tanggungjawabnya terhadap diri sendiri—terhadap dirinya.
Yang ingin saya katakan:
Jika para puan saja "mengeraskan" tulang untuk memiliki penghasilannya sendiri sebelum menikah, mengapa laki-laki ogah-ogahan—alih-alih menggantungkan hidup pada orangtua, apalagi semata-mata mengandalkan warisan sebagai jatah?
Tolong jangan berlindung dibalik kalimat "terima saya apa adanya"Â di dunia yang sangat tidak apa adanya ini.
Dunia tak—selalu—menawarkan hal-hal yang muluk-muluk yang sesederhana itu, tuan dan puan. Kita justeru malah dituntut harus berjuang menaklukannya.
Saya tak sedang membahas kebutuhan hidup versus gaya hidup; saya hanya sedang berusaha mengajak untuk realistis memandang kehidupan itu sendiri.
Dan bagi saya, tak ada istilah laki-laki tak memiliki penghasilan—atau parahnya dengan polosnya mengaku jika dirinya seorang pengangguran; saya justeru lebih menghargai laki-laki yang memutuskan jadi kuli panggul di pasar dibandingkan laki-laki dengan model ini.Â
Karena laki-laki jauh lebih tidak memiliki batasan dibandingkan para puan: dikaruniai fisik yang jauh lebih tangguh serta pertimbangan mengambil keputusan yang jauh lebih cepat dan terorganisir.
Dengan kata lain, jauh lebih memiliki "hak istimewa" untuk berbuat lebih banyak tanpa harus dibebani stigma di masyarakat yang justeru diinginkan hampir seluruh para puan.
#2 Penyeimbang superior-inferior
Sudah lazim kita tahu selalu ada perdebatan tuntutan kaum laki-laki yang meminta isterinya kelak pandai mengurus rumah, bisa masak, taat suami, sayang mertua, jago ngurus anak dan lain sebagainya—yang tentu saja tak sedikit menimbulkan pro dan kontra—bahkan hingga tulisan ini dibuat sekalipun, keributan menyoal hal tersebut belum kunjung selesai.
Sebagian dari laki-laki mungkin tidak mempermasalahkan tuntutan penghasilan yang disyaratkan seorang puan padanya. Namun, tak sedikit pula yang penghasilannya pas-pasan memberikan syarat serupa.
Di sinilah letak masalahnya.
Laki-laki terkadang lebih mengedepankan egonya dibalik label superioritas-nya sebagai suami terhadap sosok—yang mereka anggap—di posisi inferior, yang tidak lain adalah isteri; malah kerapkali justeru menihilkannya.
Banyak laki-laki beranggapan—hanya karena superioritasnya mencari nafkah tadi sehingga menjadi alasan bahwa urusan-urusan domestik yang terjadi dalam rumah tangga bukan merupakan tanggungjawabnya dan malah membebankan sepenuhnya pada pasangannya yakni istri (baca: termasuk pengasuhan anak); tak banyak laki-laki yang legowo memaknai arti kata "saling" yang sebenarnya—tak peduli penghasilan yang didapat mencukupi atau tidak.Â
Parahnya tak sedikit yang berpenghasilan pas-pasan—dan pasangannya sudah pula ikut membantu penyokongan kebutuhan—namun tetap enggan memberi perhatian dengan berbagi beban (baca: urusan domestik rumah tangga dalam pernikahan);
saya sering menemukan secara nyata orang-orang di sekitar saya—laki-laki yang berlaku seperti ini terhadap pasangannya.Â
Lebih sedikit melebar, menurut saya, ada alasan konkret mengapa para puan condong memilih laki-laki yang berpenghasilan lebih tinggi dari dirinya sebelum menikah—sekali lagi—saya tidak membahas jumlah nominal.Â
Dan tentu saja tak sesederhana kita memaknai secara harfiah kata "matre" atau "realistis"—melainkan ada alasan yang patut dikatakan tidak sembarangan yakni para puan tidak ingin berlagak dikira superior; karena tak semua laki-laki "sudi" mengakui "kelebihan" seorang puan meski penghasilannya nyatanya memang di bawah seorang puan.
Di sini letak bedanya:Â laki-laki dan puan berbeda memaknai pemaknaan antara superior-inferior.
Pada simpulannya, dengan berpenghasilan tidak lebih tinggi dari pasangannya bagi para puan adalah sebagai "kontrol" untuk tidak menunjukkan superioritas-nya, terlebih lagi jika seandainya si puan berasal dari latarbelakang keluarga yang memiliki pengaruh atau memiliki intelektual yang mumpuni (baca: dengan kata lain calon pasangannya diharapkan setidaknya lebih tinggi penghasilannya dari dirinya)—sementara bagi kebanyakan laki-laki memiliki penghasilan lebih tinggi justeru digunakan sebagai "senjata" terhadap sosok—yang sudah bisa dia pastikan—inferior, yang dalam hal ini pasangannya.
Namun, pada kesudahannya, yang ingin saya katakan adalah dengan memiliki penghasilannya sendiri, laki-laki memiliki modal awal untuk "dihargai" sebagai figur panutan yang bertanggung jawab—alih-alih menunjukkan superioritas.
Sekali lagi—dalam artikel ini—saya tidak menyasar berapa jumlah nominal penghasilan yang harus seorang laki-laki dapatkan sebelum menikah, melainkan lebih menekankan (baca: jika tidak ingin disebut mewajibkan) laki-laki tersebut HARUS memiliki penghasilan.
Memang benar, terkadang semakin tinggi kualitas seseorang maka semakin tinggi pula standar yang dimilikinya—dan pada akhirnya tawar-menawar dalam bentuk negosiasi lah yang akan dilakukan.
Semoga tak kian bertambah anak muda yang kebelet nikah seperti laki-laki muda tadi, yang minim tanggungjawab dasar—bahkan sekadar untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.Â
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H