Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menggelar Hari H Pernikahan Tidak Semudah Rahang Bilang Sayang

15 Agustus 2021   04:05 Diperbarui: 16 Agustus 2021   01:41 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mewujudkan hari H pernikahan tak semudah rahang sewaktu bilang sayang atau merasakan jedag-jedug uwuwu saat bilang rindu. 

Fix, itu benar—meskipun menikah itu sendiri bisa dikatakan wujud nyata rasa sayang.

Karena, bagi—hampir—sebagian—besar dari kita (baca: orang Indonesia yang kental dengan adat-istiadat, budaya atau tradisi), perkara ini kastanya jauh lebih “tinggi” (baca: untuk dipikirkan) dibandingkan mengomentari kebijakan pejabat negara yang bisa dilakukan sembari menyeruput kopi saking “ajaib”-nya mereka

Saya malah meyakini, persiapan hari h bahkan jauh lebih bisa bikin puyeng untuk ditindaklanjuti dibandingkan menjalani hari-hari setelah hari h pernikahan itu sendiri.

Ya, namanya rumah tangga, learning by doing sajalah, kalau meminjam istilah anak milenial sih, woles; yang penting show alias gongnya dulu yang diutamakan. Begitu kira-kira pemikiran kebanyakan dari kita di Indonesia tercinta ini.

Makin tahun nilai uang makin tidak ada “harga”-nya. Uang lima puluh ribu yang beberapa tahun ke belakang masih bisa bawa macam-macam belanjaan ke rumah, sekarang beda cerita.

Saya berkata seperti itu—dengan kata lain—untuk menganalogikan bahwa menyelanggarakan pernikahan sekarang (atau mungkin di masa-masa yang akan datang) harus ngumpulin duit jauh-jauh hari terlebih dahulu biar tak perlu merasakan shocktherapy yang keseringan.

Mobil pengantin yg telah dihiasi adalah salah satu detail cantik yg bisa ditemui di acara pernikahan. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)
Mobil pengantin yg telah dihiasi adalah salah satu detail cantik yg bisa ditemui di acara pernikahan. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)

Kenapa saya bisa bilang begitu?

Ya, terang saja karena saya berkaca dari pengalaman saya di lapangan sebagai fotografer kawinan, begini-begini saya seorang pengamat yang baik lho, ya meski ada sedikitlah main tanya-tanya.

Siapa yang saya tanya? Banyak. Ada staff wedding organizer, calon manten atau orang tuanya, vendor-vendor yang terlibat, dan lain sebagainya. 

Tapi, saya mainnya halus; tidak grasa-grusu, apalagi kentara: saya melakukan aksi investigasi saya itu di sela-sela waktu saat saya bertugas. Siasat ngobrol-ngobrol ringan pun tak berat hati saya lakukan.

Hanya saja, dalam tulisan ini, saya tidak akan secara spesifik membahas berapa nominal biaya yang dikeluarkan untuk sebuah pernikahan. Biarlah itu jadi rahasia dapur dari yang punya hajatan.

Kalau skalanya (baca: tempat dihelatnya) gedung convention center atau hotel berbintang, jelaslah pasti menguras tabungan. Tapi, jangan salah, pernikahan skala rumahan juga tak cukup satu atau dua juta, kawan.

Nah, itu (baca: perkara biaya) tak akan membuat kita mengelus dada kalau tamu undangan pernikahan yang datang bisa dipastikan tidak banyak alias mengundang sirkel yang—sangat—terdekat saja.

Sayangnya, tidak banyak yang berani melakukan itu. Dalihnya adalah apa lagi kalau bukan karena momennya pas (baca: yang katanya hari h adalah gerbang hidup baru).

Tamu undangan yang direncanakan akan hadir bisa datang dari keluarga inti atau sanak keluarga inti. Kerabat jauh yang ada di seberang kecamatan atau seberang pulau pun turut diundang padahal—bisa saja—ketemu juga jarang, parahnya cuma pas lebaran.

Itu belum dihitung tetangga dan teman-teman dari yang punya hajatan (baca: teman-teman kedua manten, dari kedua orangtua manten atau teman-teman dari sejumlah adik dari kedua manten).

Ya, Tuhan...

At least, “nggak rame ngga afdol!”

Dari kerucut investigasi ala-ala-an yang saya lakukan, setidaknya ada tiga (3) alasan mengapa bisa terjadi demikian (baca: tamu undangan dipastikan banyak yang akan datang).

#1 Merasa "nggak enakan"

Kultur ini sudah sangat mendarah daging di masyarakat Indonesia dan pelan-pelan menyusup dalam tiap urat nadi—tak peduli berasal dari belahan Indonesia bagian mana mereka (baca: adat-istiadat, budaya dan tradisi)

"Nggak enakan" ini menyentuh hampir keseluruh lapisan masyarakat.

Semakin banyak tamu yang diundang kemungkinan semakin banyak pula biaya pernikahan yang dikeluarkan. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)
Semakin banyak tamu yang diundang kemungkinan semakin banyak pula biaya pernikahan yang dikeluarkan. (Sumber: Dok. Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)

Kalau dipikir-pikir, semakin banyak tamu yang datang berarti (baca: mungkin atau boleh jadi) semakin nggak enakan pula sebenarnya yang punya hajatan.

Nah lho!

Karena hal itu berbanding lurus dengan jumlah biaya yang dikeluarkan bukan? Terlebih lagi di kota-kota besar yang segala macamnya serba mahal—sehingga tak heran semakin mahal prediksi biaya yang akan dikeluarkan maka semakin pula jadi beban pikiran menjelang hari h pernikahan.

Ups.

Nggak enakan ini tentu saja erat kaitannya dengan kenyataan "kebiasaan" sebagian besar dari masyarakat Indonesia yang ogah jadi bahan pembicaraan orang-orang hanya karena pasal—jumlah—undangan, alih-alih jadi cibiran diam-diam mereka.

#2 Gengsi dong!

Banyaknya tamu yang diundang bisa mempertegas pula "status" yang punya hajat di hari H pernikahan—tak peduli seberapa banyak biaya yang akan dihabiskan; tak peduli berasal dari mana biaya itu didapatkan (baca: amit-amit kalau sampai ada aset yang harus dijual—atau minimal digadaikan; amit-amit kalau sampai ke sana-sini "nyari utangan).

Uniknya, terkadang pesta diadakan berulang-ulang—yang kalau istilahnya saya bilang sengaja “diada-adain”.

Bergaya hidup sejatinya sultan atau tidak dalam kehidupan sehari-hari, tabiat jelek ini sepertinya masih dipelihara hingga kini—meski tanpa disadari.

Ya, begitulah, tak semua orang berani mengakui bahwa gengsi lah yang sebenarnya dikedepankan tapi kedoknya berbagi kebahagiaan.

O-ow.

Teman-teman dekat pengantin termasuk kategori lingkaran terdekat. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)
Teman-teman dekat pengantin termasuk kategori lingkaran terdekat. (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto oleh Kazena Krista)

Bukankah ukuran yang kita pakai (baca: apa lagi untuk mengukur orang lain) akan kembali digunakan untuk mengukur kita?

Ups—lagi deh.

#3 Terlalu banyak "campur tangan"

Keluarga besar, pemangku adat atau orang yang dituakan bisa pula dikatakan jadi penyumbang “membengkak”-nya jumlah tamu yang akan diundang (baca: yang berimbas dengan jumlah biaya pernikahan yang dikeluarkan) jika tidak disiasati dengan baik—dan ini bahaya!

Jadi, kita dituntut untuk bijak dan pandai “bicara”.

Sejatinya, memang benar acara hari h pernikahan adalah acara yang inginnya dikenang dengan baik sepanjang hayat di kandung badan. 

Tapi, tidak banyak tamu yang datang bukan berarti menghilangkan kesakralan dari hari H acara pernikahan itu sendiri—yang digelar secara private (baca: alih-alih dilakukan dengan sederhana pula) dengan undangan yang tak terlalu banyak juga bisa melakukannya.

Menikah adalah satu dari sekian banyak cara merasakan kebahagiaan bukan—jika Tuhan saja memudahkan mengapa kita justru mempersulit?; jika tolok ukurnya adalah hari-hari pasca hari h pernikahan mengapa banyak dari kita suka sekali membuat susah diri sendiri?

Untuk yang sepaham dengan saya (baca: setelah membaca ini), mending memperbesar uang mahar, atau uangnya ditabung dalam macam-macam bentuk seperti beli logam mulia, main saham reksadana bersama pasangan nanti—atau dijadikan deposito sekalian mungkin; yang tidak sepaham, dan tetap mau mengundang banyak undangan (baca: dengan catatan jika pandemi mereda ya) ya tidak apa-apa juga sih—itu hak setiap orang beserta keluarga besarnya: keduanya sah-sah saja dilakukan, yang penting esensinya dan keikhlasannya.

Karena pernikahan adalah perjalanan menghabiskan hari-hari sepanjang sisa usia BUKAN untuk satu hari saja. 

Tamu yang datang juga tidak bakal ingat bagaimana rasa makanan yang dihidangkan dan kemudian dimakan beberapa waktu setelah hari h pernikahan; karena segala pernak-pernik pernikahan hanya bisa "dikunjungi" melalui foto (dan atau video) untuk kemudian dikenang. Itu pun sesekali di masa yang akan datang.

Tabik.

Disclaimer:

Tulisan ini tak perlu dihiraukan kalau biaya yang akan dikeluarkan tidak jadi beban pikiran kedua calon pasangan beserta kedua pihak keluarga; tulisan ini dibuat karena perihal ini sudah jadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat.

Tulisan ini baru menyoal berbicara hari h pernikahan—belum termasuk rangkaian prosesi yang mungkin menyertainya yang mungkin dilakukan terpisah seperti lamaran dan dengan atau tanpa ngunduh mantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun