Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berangkat dari Pengalaman: 2 Cara Ini yang Mungkin Dilakukan Pelaku Perselingkuhan

3 Juli 2021   10:39 Diperbarui: 3 Juli 2021   18:43 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak satupun orang yang ingin dikhianati namun anehnya tak sedikit perselingkuhan yang terjadi.

Alamak!

Berkaca dari keinginan yang muluk-muluk tentang komitmen, jelas saja setiap orang mengidamkan sebuah hubungan yang sehat (baca: dan diharapkan pula bisa berumur "panjang") bersama pasangan.

Hanya saja, jalan mulus ke arah sana tak semudah membalikkan telapak tangan— bisa jadi selalu ada banyak kemungkinan untuk hubungan itu menuju jurang perpisahan.

Para pelakunya tak mengenal jenis kelamin. Pun para korbannya.
Pada intinya, baik sebagai pelaku atau sebagai korban, keduanya berpotensi mengalami perselingkuhan. 

Jadi, di antara laki-laki ataupun puan tak perlu diributkan dulu siapa yang paling dominan untuk patut dipersalahkan.

Perselingkuhan, tentu saja akan menimbulkan dampak yang akan memberatkan di masa depan (baca: baik bagi pelaku atau korban. Akibatnya tentu saja bisa menimbulkan trauma emosional dari sisi psikologis apabila hal itu ketahuan)—dan sudah barang tentu tidak bisa dianggap remeh apalagi sembarangan. 

Mengapa saya katakan demikian?
Karena pada akhirnya trust issue akan menjadi tuntutan, selalu dipertanyakan, dan tentu saja kelak di masa mendatang jadi pusat perhatian.

Trust issue adalah sesuatu yang—sangat—serius. Karena ini adalah "inti" yang sebenarnya dalam sebuah hubungan (baca: dan diusahakan "tidak hadir" jika seseorang menginginkan hubungan yang langgeng dalam jangka panjang).

Untuk ciri-ciri konkret seseorang yang berselingkuh sendiri, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut dalam tulisan ini. Karena tujuan saya jelas bukan itu. 

Saya sendiri punya cerita menyoal bahasan yang jadi jantung utama tulisan ini (baca: perselingkuhan)!

Eits, tapi tunggu dulu, saya rasa saya perlu mewanti-wanti bahwa saya sebelumnya tidak punya riwayat sebagai "penderita" ataupun yang "memberikan derita" untuk permasalahan yang satu ini—dengan kata lain, saya tidak punya pengalaman real apapun tentangnya. 

Secara teknisnya sih begitu—setidaknya sampai saya menemukan alasan yang pas untuk melakukannya.

 Perselingkuhan bisa menimbulkan trust issue berkepanjangan dalam diri seseorang. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Milan Popovic)
 Perselingkuhan bisa menimbulkan trust issue berkepanjangan dalam diri seseorang. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Milan Popovic)

Kaget saya mengatakan hal ini?

Ya, kau tidak salah baca, kawan.

Dengan lantang saya katakan, memang saya pernah sekali waktu—dengan sengaja—melakukannya (baca: katakanlah saya melakukannya untuk semacam personal experiment—yang diawali dengan satu masalah besar yang jadi pemicu. Hanya saja karena alasan norma kesopanan, saya merasa tak perlu memberitahukan secara detail dalam tulisan ini apa yang jadi pemicu itu) untuk memunculkan reaksi atas pasangan saya—dan itu tentu saja saya lakukan dengan sadar; tidak semata-mata dengan sembunyi-sembunyi. 

Partner yang saya jadikan "tandom" adalah teman saya sendiri (baca: yang juga sangat dikenal baik oleh pasangan saya; mereka adalah sahabat baik dan mereka bersahabat jauh sebelum saya mengenal pasangan saya—meskipun boleh jadi hingga detik ini, partner saya tersebut tidak menyadari bahwasanya saya pernah menjadikannya "alat" eksperimen atas masalah yang terjadi antara saya dan pasangan saya).

Lagipula, saya sejak awal sudah punya tenggat tersendiri seputar berapa lama saya melakukan eksperimen saya tersebut; saya tak ingin berlarut-larut. 

Pun saya juga sudah paham dan mempertimbangkan risiko apa yang akan saya tuai dari pasangan saya menyoal ini—dan gambling tentu saja adalah sesuatu yang tak terelakkan meskipun jujur, tak ada sedikit pun niat saya menciderai perasaan pasangan. 

Trigger perselingkuhan yang saya lakukan tersebut adalah bentuk upaya terakhir saya—dan tidak sebaiknya dicontoh jika kau tak siap mental dengan hasil akhirnya.

Tolong jangan dicoba; hubunganmu dengan pasanganmu tidak sebercanda itu. 

Kau bukan saya tentu saja.

Memang, pada akhirnya keadaan hubungan saya dengan pasangan saya tetap baik-baik saja—tak ada yang runyam—setelah saya mengungkapkan apa alasan saya melakukannya, dan kabar baiknya pasangan saya bisa menerima itu (baca: perselingkuhan coba-coba ala saya) dengan lapang dada disertai koreksi masing-masing dari kami. 

Bukti konkret yang jadi penyebab tidak bisa terbantahkan jika ada yang harus diperbaiki.

Apakah ini aib yang sengaja saya beberkan? 

Bisa jadi "ya" bisa pula "tidak"; semua tergantung pada siapa yang memberikan tanggapan. 

Apakah saya tidak takut dinilai sebagai sosok yang jahat—lagi tak bernurani—oleh orang-orang atas perbuatan yang saya lakukan?

Well, jahat atau tidaknya saya sebagai individu, semua berpulang lagi pada penilaian setiap orang; saya hanya ingin mengemukakan contoh valid dari tulisan ini—alih-alih mengarang cerita bohong sebagai contoh—dan semoga bisa dijadikan pelajaran.

Sebuah hubungan tak sekadar cinta semata melainkan apresiasi dan memahami kebutuhan/keinginan pasangan. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Kristina Litvjak)
Sebuah hubungan tak sekadar cinta semata melainkan apresiasi dan memahami kebutuhan/keinginan pasangan. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Kristina Litvjak)
 

Boleh saya katakan, perselingkuhan adalah satu bentuk kegagalan seseorang dalam berkomunikasi dengan pasangannya—semua berbicara tentang bagaimana mengungkapkan isi hati atas kebutuhan dan atau keinginan dari dan untuk pasangan itu sendiri.

Apalagi jika seseorang tersebut tidak terlalu jago bicara seperti halnya saya, wah makin runyam—malah ini bisa dijadikan alasan perselingkuhan.

Wadidaw.

Untungnya, pasangan saya (baca: kekasih saya) kenal betul watak saya. Dia terlalu welas asih untuk memaafkan perbuatan konyol saya ketika itu.

Baca juga: Selalu Ada Hipotesis untuk Dia yang Jago Bicara

Kembali ke topik, baik kebutuhan dan atau keinginan adalah—dua—hal yang krusial namun sangat manusiawi dalam sebuah hubungan dan—menurut saya—urgensinya bergantung pada individu-individu yang menyikapinya. 

Setidaknya, bercermin dari pengalaman (baca: yang disertai proses kontemplasi) dari apa yang telah terjadi, izinkan saya memberikan dua (2) simpulan cara saat pelaku melakukan perselingkuhannya.

#1 Dilakukan karena pilihan

Tidak ada kata khilaf untuk sebuah perselingkuhan. Karena perbuatan selingkuh dilakukan dengan penuh kesadaran: logika berperan. 

Maka, saya dengan percaya diri mengatakan bahwa perselingkuhan dilakukan para pelakunya sebagai bentuk pilihan.

Para pelaku perselingkuhan (baca: saya contohnya) menyadari betul akan hal ini. Si pelaku sudah menimbang akibat-akibat apa yang akan timbul—namun, letak masalahnya adalah si pelaku tetap nekad melakukan itu. 

Salahkah itu?

Tentu saja!

Ya, perselingkuhan tentu berangkat dari sesuatu yang dirasa salah; tidak terarah. Dengan kata lain, hubungan itu tidak berjalan semestinya. 

"Pilihan" untuk melakukan perselingkuhan ini juga bisa berangkat dari banyak faktor seperti rendahnya pemahaman seseorang terhadap sebuah nilai komitmen yang diakibatkan relasi yang buruk di masa lalu, merasa lebih baik dari orang lain (baca: merasa lebih tampan/cantik, lebih berduit dlsb) sehingga butuh orang lain untuk dijadikan validasi—hingga tabiat berulang yang menimbulkan semacam "candu".

Untuk poin terakhir, bahkan saya kenal beberapa orang pelakunya; mereka real melakukannya—dan tentu saja tak cukup sekali. Kepercayaan bagi mereka bukan lagi sebagai titik sentral.

#2 Dilakukan karena kesempatan

Selanjutnya, perselingkuhan yang dilakukan karena adanya kesempatan.

Saya tidak bisa mengatakan apakah ada perbedaan yang mencolok atau tidak dari perselingkuhan yang dilakukan berdasarkan "kesempatan" dari yang saya kemukakan sebelumnya (baca: yang dilakukan berdasarkan pilihan)—hanya saja, saya memiliki hipotesis lain menyoal ini.

Saya beranggapan, mungkin perselingkuhan yang dilakukan berdasarkan "kesempatan" ini tidak murni diniatkan oleh para pelakunya.

Mengapa saya katakan demikian?

Ini bisa saja terjadi karena ada faktor-faktor pemicu lain yang berasal dari luar diri si pelaku, seperti "godaan" dari lawan jenis—atau bahkan sugesti yang berasal dari orang lain (baca: bisa teman—atau malah kerabat dekat) tentang bahwasanya si pelaku bisa mendapatkan yang lebih baik dari pasangannya saat ini—yang tentu saja telah dicari-cari terlebih dahulu sisi-sisi buruknya dari pasangannya tersebut dengan harapan menggoyahkan pendiriannya—alih-alih pada akhirnya si pelaku sendirilah yang mencari kekurangan pasangannya itu. 

Ups.

Sebuah hubungan acapkali lebih mudah mengawali dibandingkan mempertahankannya. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Carly Rae Hobbins)
Sebuah hubungan acapkali lebih mudah mengawali dibandingkan mempertahankannya. (Sumber: Unsplash/Foto oleh Carly Rae Hobbins)

Ya, perselingkuhan, tak satupun orang menginginkannya—sekalipun itu orang yang mungkin saja pernah melakukannya.

Dia berbicara pada satu hal: tak ingin disakiti; ada ego—dan itu mustahil dilakukan tanpa alasan yang kuat dan diwaktu yang tepat.

Sehingga untuk mencegah terjadinya perselingkuhan sejatinya dibutuhkan lebih banyak komunikasi di antara kedua belah pihak yang menjalin hubungan: selain cinta, memperbanyak apresiasi juga adalah "kunci" yangdisertai jujur dan terbuka dalam memahami kebutuhan dan atau keinginan dari pasangan. 

Ingat saja ini sebelum ada niat untuk melakukan perselingkuhan bahwa untuk menjalin komitmen jangka panjang, mempertahankan hubungan jauh lebih sulit daripada memulai perkenalan.

Selingkuh? 

Plis dong ah, jangan coba-coba!

Cukup saya saja.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun