Menjadi ibu yang seperti itu apa hebatnya?!
Saya tidak ingin menjadi ibu yang demikian di mata anak-anak saya—selama yang mampu mereka ingat.
Saya tidak ingin gagal.
Baca juga: Hey, Ini Bacaan Saat Kau Gagal
Menjadi ibu yang kuat (baca: tidak lemah dan berprinsip. Teguh dengan memperjuangkan suaranya—alih-alih suara anak-anaknya) itu "harus". Tetapi, saya sadar menjadi ibu yang menguatkan itu "pilihan"—dan oleh karenanya saya harus lebih giat "belajar".
Namun, untuk menjadi ibu yang kuat lagi menguatkan seorang puan butuh laki-laki yang "sepadan"; yang berdiri tidak di hadapannya dan tidak pula di belakangnya—melainkan di sampingnya. Tidak timpang.
Puan yang bijak akan melakukan itu bukan berharap berkuasa (baca: menindas) atas laki-laki, tapi setidaknya dia dapat berkuasa atas dirinya sendiri; berkuasa atas tiap pilihan dan keputusan yang dia buat—dan bertanggung jawab.
Di kepala saya sudah tersimpan bagaimana pola asuh anak-anak saya ke depannya—tentu saja setelah melewati fase berkoordinasi dengan pasangan saya. Win-win solution adalah harus. Untuk itulah pasangan saya adalah bentuk "valid" dukungan bagi saya.
Segala sesuatu yang tidak baik atau kekurangan yang saya dapatkan dari orang tua tidak akan saya teruskan; cukup berhenti di saya (pesan ini juga saya tegaskan pula pada kedua adik saya).
Seperti yang saya katakan, saya ingin menjadi ibu yang kuat dan menguatkan untuk anak-anak saya—selama yang mampu mereka ingat.
Semoga.
Tabik.