Jangan pernah beli kamera yang terbilang tidak ramah di kantong hanya untuk gaya-gayaan kalau pada akhirnya hasil foto yang dihasilkan tidak terlalu beda jauh dengan kamera lain yang kau punya (baca: kamera non profesional, alih-alih kamera smartphone).
Karena pada kenyataannya foto yang bagus seringkali lahir dari kamera standar yang terbilang "biasa" dengan fitur yang tidak njelimet atau ala kadarnya—alih-alih malah hasil foto dari kamera yang bagus justeru jarang membuat perhatian orang tercuri; jarang dipuji.Â
Lha, kok bisa?
Terus, pertanyaannya, apakah tidak boleh membeli kamera yang mahal?
Saya tidak bilang tidak boleh. Karena jika seseorang merasa keahliannya dalam fotografi sudah mumpuni—alih-alih jago—biasanya dia akan lebih serius lagi.
Hingga pada akhirnya bisa saya katakan, totalitas memang boleh jadi dinilai dan "dihargai" dengan kamera (meski tak sepenuhnya benar). Itu wajar—yang tidak wajar adalah pamer kamera dan menilai orang yang kameranya tidak bagus itu tidak lebih jago motret dibandingkan dengan mereka yang punya kamera bagus—alih-alih mahal.
Maka, izinkan saya mengatakan ini:
Fotografi adalah seni dari mata fotografer itu sendiri, bukan semata-mata alat tempurnya.
Menyoal kamera, jujur saya pernah masuk dalam fase tidak percaya diri hanya karena kamera—beberapa tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya minder di lapangan saat bertugas.
Sebagai seorang female wedding photographer yang kala itu menjadi official photographer di sebuah pernikahan klien, kamera saya justru "dikalahkan" dengan kamera full frame seorang tamu undangan.Â
Saya tidak tahu, apakah dia seorang pegiat fotografi atau bukan—alih-alih juga seorang fotografer kawakan, yang jelas Nikon D3 yang dibawanya waktu itu lebih dari cukup membuat mental saya susut.Â
Namun, saya tak membiarkan mental saya mengerut lebih lama. Karena saya sadar ada banyak alasan mengapa saya mencintai dunia fotografi melebihi upaya membanding-bandingkan gear milik orang lain dengan gear milik sendiri.