Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

5 Hal yang Harus Dipikirkan Para Puan Saat Melakukan Street Photography Sendirian

24 Juni 2021   04:39 Diperbarui: 24 Juni 2021   17:11 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto candid yang diabadikan di jalanan sebelum pandemi menyerang. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Selalu akan ada yang pertama kali dalam setiap hal.

Termasuk hunting fotografi di jalanan.

Satu hal yang menarik buat saya tentang jalanan adalah dia bisa menyuguhkan realitas yang apa adanya ke hadapan saya—untuk kemudian saya abadikan. 

Saya tidak bohong mengatakan ini.

Banyak kejutan yang bisa hadir di jalanan—khususnya jalanan yang ada di perkotaan, seperti yang menjadi jantung utama dalam tulisan ini—dan terkadang kejutan-kejutan itu tak pernah ada di benak saya sama sekali meskipun jalanan tersebut adalah jalanan yang saban hari saya lewati. Namun, di situlah letak kelebihannya.

Foto candid fotografi jalanan yang diambil di jembatan layang. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Foto candid fotografi jalanan yang diambil di jembatan layang. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Fotografi jalanan menjadi cara untuk saya belajar serta memahami jika saya (baca: saya di antara segala rutinitas—dan meski saya tidak ditiap kesempatan bisa melakukannya) rasanya masih butuh menengok dan berinteraksi secara lebih dekat sebagai manusia terhadap manusia yang lainnya namun dengan perspektif yang berbeda.

Saya tidak akan bilang bahwa motret di jalanan akan selalu "enak", termasuk untuk para puan. 

Jadi, jika ada para puan yang tidak suka mukanya merasa "berat" karena kena debu—apalagi yang berasal dari asap knalpot—atau tidak suka menjumpai keramaian dengan segala hiruk pikuknya, mungkin genre fotografi yang satu ini bukan genre yang tepat untuk dijadikan hobi.

Itu belum terhitung dengan cuaca yang kadang tidak bisa ditebak—atau kejadian-kejadian unpredictable yang dilakukan oleh para manusia yang bersinggungan di dalamnya.

Menyoal fotografi jalanan—yang konsentrasinya lebih banyak melibatkan interaksi manusia—saat terjun motret, saya lebih suka memakai lensa kecil yang ringkas penggunaannya yang sudah saya pasang sebelumnya di body kamera saya.

(baca: terkecuali, jika saya memang ada rencana untuk mengambil foto landscape dan atau cityscape. Untuk yang satu ini saya bisa membawa lensa yang berbeda sesuai peruntukkannya—bahkan saya pun akan membawa tripod sebagai alat tempur tambahan, dengan memory tambahan pula).

Genre cityscape juga bisa dilakukan saat street photography. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Genre cityscape juga bisa dilakukan saat street photography. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Tujuan penggunaannya sederhana (baca: pilihan memakai lensa tadi), selain agar tidak ribet, kemungkinan untuk diketahui oleh objek foto saya juga terbilang kecil. Dengan kata lain, jika candid memungkinkan, akan saya "hajar". 

Namun, jika sebaliknya, saya akan make sure terlebih dulu untuk meminta izin. Karena saya paham tak semua objek saya suka difoto (baca: jika ketahuan); etika juga dijunjung dalam hal ini.

Saya juga tak sekali-dua kali hunting bermodalkan hanya dengan kamera handphone saya—ya, dewasa ini, kamera yang disematkan pada ragam smartphone saya akui sudah sangat mumpuni. 

Semua dikembalikan bagi para pelaku fotografi jalanan itu sendiri (baca: dalam hal ini para puan) hendak menggunakan alat "tempur" seperti apa.

Pada praktiknya, sebelum terjun untuk street photography, setidaknya ada 5 hal non teknis—dari beberapa di antaranya (baca: khususnya saya sebagai seorang puan) yang butuh saya pikirkan dengan matang. 

Kelimanya boleh jadi memang tidak murni sama dengan para pencinta fotografi jalanan di luar sana; mungkin bagi mereka ada "ritual-ritual" yang berbeda dari yang saya lakukan—atau sebaliknya.

#1 Pilih outfit yang nyaman

Meski selera fesyen saya bisa dikatakan tidak bagus-bagus amat, atau malah boleh dikatakan agak payah—dan saya bukan tipikal orang yang up to date pula—tetapi bukan berarti saya akan mengizinkan orang-orang akan memandang aneh saya dari atas sampai bawah ketika melihat penampilan saya.

Dengan kata lain, jalanan memang catwalk saya pada saat street photography—tetapi tentu saja dengan fashion ala saya.

Oleh karena itu, guna menyiasatinya saya akan mengenakan outfit yang nyaman (juga yang menyerap keringat dengan baik serta tidak mudah membuat saya merasa gerah) untuk saya kenakan seperti misalnya kemeja lengan panjang yang dikancing tidak seluruhnya hingga atas—yang sengaja sedikit dibuka sehingga kaos oblong bisa mengintip dari dalamnya. 

Saya tidak perlu bohong kalau saya memang agak sedikit tomboy—serta tentu saja tudung kepala dengan warna yang cocok (baca: kalau bisa diusahakan yang senada dengan pakaian yang saya pakai pada hari itu)—yang saya padu padankan dengan jins atau celana joger. 

Baca juga: Selalu Ada Alasan Mengapa Seseorang Ingin Tampil Menawan Lewat Penampilan

Satu lagi, sling bag tak pernah ketinggalan.

Untuk pilihan sepatu, biasanya saya akan memilih boots atau sneaker. Keduanya adalah pilihan terbaik untuk memudahkan saya bergerak dengan leluasa atau berjingkat dari sini ke sana.

Boots jadi salah satu sepatu pilihan saya saat street photography. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Boots jadi salah satu sepatu pilihan saya saat street photography. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Untuk para puan yang lain sila tentukan sendiri, selama nyaman sila kenakan. Intinya, tampil casual itu lebih baik.

#2 Bawa parfum semprot

Karena sadar kegiatan saya melibatkan mobilitas di jalanan maka saya akan membawa parfum semprot di dalam sling bag saya—atau yang bisa pula nanti saya bawa di saku celana saya.

Parfum semprot dalam hal ini punya dwi fungsi. Pertama, mungkin akan kembali saya gunakan untuk menghilangkan aroma "jalanan" yang telah menggantikan parfum yang saya pakai sebelumnya dari rumah.

Kedua, akan saya gunakan sebagai "alat" pencegahan saat diperlukan apabila tindak kejahatan terjadi. Jaga-jaga dari bahaya tidak ada salahnya kan?

Setidaknya, parfum jauh lebih "ramah" apabila mengenai mata—para—pelaku tindak kejahatan dibandingkan pepper spray yang berisi cairan cabai; parfum semprot ini akan menjadi pelengkap kepiawaian saya dalam berlari (baca: karena saya tidak jago bela diri) dan berteriak jika yang tidak diinginkan itu terjadi.

Tapi, alhamdulillah, saya belum pernah memakainya sejauh ini—dan semoga saja tidak akan pernah.

#3 Tentukan tempat, waktu, serta durasi

Penentuan ketiga hal ini menjadi penting untuk membuat kegiatan hunting fotografi jalanan yang saya lakukan agar lebih efektif dan efisien. 

Misalnya, saya sudah menentukan dua kawasan mana saja yang hendak saya singgahi berikut pada pukul berapa serta berapa lama waktu yang akan saya habiskan, dengan demikian, saya tidak berpotensi mengkhianati jadwal yang sudah saya tetapkan. 

Lagipula tidak seperti genre landscape (dan atau cityscape) yang sering terpaku dengan waktu-waktu khusus (baca: pengambilannya), menurut saya jam-jam motret street photography jauh lebih fleksibel. Selama mobilitas manusia—sebagai objek—masih ada dan waktunya terbilang "aman" maka selama itu pula kegiatan fotografi jalanan ini masih bisa dilakukan.

Salah satu contoh street photography yang bersifat konseptual. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Salah satu contoh street photography yang bersifat konseptual. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Namun, bagi beberapa teman fotografer yang saya kenal—yang benar-benar menekuni street photography—mereka dominannya berpendapat fotografi jalanan kerennya dilakukan di jam-jam sembilan hingga sebelas pagi atau di jam-jam empat sore hingga rembang petang menjelang.

Ada satu tips lagi, jika saya tertarik untuk melakukan street photography saat malam, biasanya saya memastikan lokasi tempat saya motret cukup terang untuk mengakali penggunaan ISO yang terlalu tinggi (baca: untuk mengurangi noise) atau shutter speed yang terlalu rendah—yang justeru membuat obyek saya rawan blur dan tidak fokus.

#4 Parkirkan kendaraan di tempat aman dan mudah dijangkau

Saya punya alasan memasukkan tips ini menjadi salah satu bagian penting sebelum saya bergerak menyusuri jalanan untuk mengabadikan tiap cerita yang saya anggap menarik untuk dimasukkan dalam rangkaian "cerita" di kamera saya.

Betapa tidak, bagaimana saya bisa tenang motret sementara keamanan kendaraan saya tidak bisa saya jamin sepenuhnya?!

Maka dari itu lokasi parkir yang aman sangat menentukan. Karena saya tidak mungkin berhenti beberapa meter sekali hanya untuk memarkirkan kendaraan demi foto-foto yang hendak saya abadikan (baca: kecuali, jika memang saya berangkat ke spot pemotretan tidak dengan menggunakan kendaraan pribadi)—dan tentu saja, saya tidak akan terlalu jauh motret dari tempat di mana kendaraan saya diparkirkan.

#5 Bawa uang saku secukupnya

Karena fotografi jalanan tidak bisa ditebak bagaimana jalan ceritanya, maka membawa uang saku secukupnya adalah wajib.

Fotografi jalanan menyuguhkan realitas yang sebenarnya dari kehidupan. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Fotografi jalanan menyuguhkan realitas yang sebenarnya dari kehidupan. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Contohnya, sebagai cara pendekatan dengan objek "buruan", saya kerap membeli dagangan mereka atau sekadar membelikan anak-anak mereka jajanan—atau sekalian saja memberikan "harga" untuk foto yang akan atau telah saya abadikan, jika memang pada akhirnya lobi-lobi saya (baca: seperti senyum atau obrolan singkat yang saya lakukan) tidak cukup "mempan".

Saya pernah melakukannya dan saya tidak menganggapnya sebagai beban. Karena jika terjadi maka saya anggap itu sebagai mutualisme yang sepadan—dan oh, tentu saja, uang saku juga bisa saya gunakan untuk saya icip-icip bukan?

Namun, karena alasannya tidak sepenuhnya diperuntukkan untuk itu, makanya saya tidak menyebutnya demikian sejak awal.

Ya, fotografi—menurut Destin Sparks dan saya sepakat—adalah kisah yang gagal diceritakan oleh kata-kata dan tugas seorang fotografer lah untuk memberikan keyakinan "lain" (baca: pesan tersendiri) pada orang-orang bahwa kegagalan kata-kata tadi bisa dilihat langsung oleh mata—dan membuat mereka percaya akan hal itu.

Tidak ada aturan yang baku memang dalam fotografi (baca: teknik pengambilan, komposisi, permainan warna—dan lain sebagainya); siapapun bisa melakukannya, hanya saja bagi—para—fotografer pelakunya, dia haruslah dekat dengan obyek utamanya. Oleh karenanya, persiapan haruslah dilakukan dengan matang. Semoga bermanfaat.

So, make your own preparation.

Tabik.

Disclaimer:

1. Tulisan ini ditujukan lebih kepada para puan yang punya mental kuat untuk hunting sendirian—meski pada praktiknya (baca: kelima tips tadi) siapapun bisa melakukannya.

2. Tulisan ini pula menjadi jawaban challenge dari polling yang pernah saya buat di Instagram pribadi saya; ini tips sederhana sebelum saya terjun untuk street photography. 

Mr. X (yang tidak ingin disebutkan namanya) tantangan kamu tuntas saya jawab dalam bentuk tulisan ya? 

3. Tetap patuhi prokes saat melakukan street photography ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun