Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Biarpun Drakor sedang Naik Kasta tapi Kartun Jauh Lebih Bisa Membuat Hati Saya Gembira

4 Juni 2021   05:59 Diperbarui: 5 Juni 2021   19:27 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duo larva (Via Tangkap Layar Youtube WildBrain Toons)

Saya penyuka kartun—dan sewaktu kanak-kanak, maraton kartun di hari Minggu adalah yang paling saya tunggu, seolah itu menjadi pengobat hati akibat rutinitas belajar dari Senin hingga Sabtu.

Dulu, sesuatu yang wajar bagi saya dan teman-teman di sekitar rumah saya saling bertandang dari rumah ke rumah cuma untuk menonton kartun di hari Minggu. Kadang kalau saya kangen masa-masa itu, saya suka senyum-senyum sendiri. 

Oh, God, time flies so fast, doesn't it?

Baiklah, masa kanak-kanak adalah masalah yang sentimental buat saya.

Namun, tengoklah beberapa tahun belakangan sepertinya drakor memang sedang menemukan zaman keemasannya ya? 

Hampir semua kalangan terbetot perhatiannya dengan aneka drama dari negeri ginseng ini, bahkan sekelas Ika Natassa, Alexander Thian, Prita Ghozie—sila cari tahu sendiri siapa mereka—tiga dari beberapa orang yang sedikit banyak mempengaruhi hidup saya, pun ikut "kepincut".

Namun, meskipun demikian, saya masih kukuh dengan pendirian: no drakor, so far so good.

Tolong perlu diingat bahwasanya drakor adalah semacam sinetron dalam versi beda negara. Dia hanya tidak seaneh jalan cerita sinetron Indonesia yang panjang episodenya katanya berdasarkan rating—alih-alih saya sebut menuhankan. Jadi, no hard feeling ya?

Mereka di luar sana mungkin boleh saja sedang keranjingan nonton drakor tapi saya punya jalan ninja saya sendiri untuk merasa gembira. Ya, menonton kartun jawabannya—dan bicara kartun, tontonan jenis ini punya tempatnya sendiri dalam diri saya.

Kartun itu selalu adil untuk ditonton, kawan; ia tidak menjadi tontonan mutlak anak-anak. Oke, saya ralat dulu, setidaknya itu berlaku untuk saya. 

Bagi saya pribadi, kartun jauh lebih "menggoda" saya dibandingkan drakor yang belakangan sedang naik kasta—dan tak peduli berapa usia saya sekarang, saya tetap suka tontonan jenis ini (baca: kartun).

Jadi, kalau ada seseorang yang mengatakan kartun itu bukan tontonan orang dewasa, saya termasuk orang yang ada di garda depan untuk menyanggahnya.

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat saya tetap "menggandrungi" kartun sebagai jenis tontonan dibandingkan jenis tontonan lain—bahkan dibandingkan dengan drakor sekalipun.

#From A to Z

Siapa saja bisa menonton kartun; dia tidak mewajibkanmu harus memiliki KTP hanya sekadar untuk memastikan berapa usiamu ketika ingin menontonnya.

Dengan kata lain kartun tidak mengharuskanmu memiliki tingkat inteligensia di atas rata-rata hanya untuk menarik simpulan dari jalan cerita.

Karena semuanya rata-rata dibuat sederhana. Ingat ya rata-rata—ada beberapa pula jenis kartun yang harus dicerna tidak dengan biasa, Detective Conan, misalnya. 

Sajian pesan moral dalam tayangan kartun setidaknya mudah dipahami—dan tentu saja relatable. Saya pribadi bisa saja membenturkan pesan moral itu dengan kehidupan saya sehari-hari; terkesan kebanyakan memang dinilai remeh tapi yang jelas tetap valuable.

Misalnya, tak peduli sengeyel apapun seseorang, tetap saja ada yang selalu—alih-alih dipaksa—dibuat mengalah (baca: layaknya Doraemon terhadap Nobita); atau tak peduli di lingkungan manapun seseorang berada, akan selalu ada orang yang menyebalkan (baca: layaknya Sinchan terhadap teman-teman sekolahnya)—atau tak peduli segenting apapun masalah dalam hidup, selalu akan ada "pahlawan" (baca: layaknya Tuxedo bertopeng yang datang membantu Sailormoon dan kawan-kawan)—dan lain sebagainya.

# Semua terasa wajar

Cuma dalam kartun Winnie the Pooh seekor beruang madu bisa tampak imut dan lucu atau lihatlah Naruto yang berasal dari desa Konoha yang begitu percaya diri dengan rambutnya yang kuning nanas.

Ya, kau benar, semuanya terasa wajar dalam kartun.

Tontonan jenis ini membiarkan imajinasi para "pembuat"nya bergerak liar, sehingga tak peduli seabsurd apapun, tokoh-tokoh dalam kartun tak melulu dipertanyakan.

Dalam kartun semua terlihat mungkin. Penggambaran karakternya yang variatif dan diluar dugaan akan dianggap wajar-wajar saja—tidak aneh. Tokoh-tokohnya tidak selalu cantik atau tampan seperti yang saya lihat sekilas di drakor—atau malah di sinetron picisan.

Di situlah letak kelebihannya: nilai kepolosan, kejujuran dan bahkan pelajaran berharga tanpa sadar disisipkan.

Duo larva (Via Tangkap Layar Youtube WildBrain Toons)
Duo larva (Via Tangkap Layar Youtube WildBrain Toons)

# Terapi murah untuk inner child yang tak baik-baik saja

Kadang kalau tidak dikejar-kejar deadline saya suka menonton ulang tayangan kartun di Youtube kesayangan—dan voila, saya dapat memutar ulang waktu dalam seketika; ya—sekali lagi—mengenang masa kanak-kanak adalah kesukaan saya. Ada semacam bentuk keterikatan emosi yang sulit digambarkan.

Kartun juga tanpa sadar menyadarkan saya untuk berkomunikasi lagi terhadap apa yang saya sebut dengan inner child—dan tak sekali-dua kali saya kerap "dipaksa" memberikan afirmasi positive terhadap diri sendiri setelah menontonnya.

Semuanya tak jauh-jauh membicarakan tentang self worth, self acceptance, dan self love—hanya saja dengan cara yang berbeda namun menyenangkan bagi saya.

#Melatih sifat sebagai orang tua

Ya, kau tak salah baca. Ini poin penting yang saya masukkan sebagai alasan mengapa saya suka menonton kartun bahkan hingga sekarang.

Coba bayangkan, bagaimana seseorang bisa dengan sabar menemani seorang anak menonton kartun dan menjelaskan hal-hal baik apa yang terkandung di dalamnya jika dia sendiri tidak tertarik untuk menontonnya?

Namun, pertanyaan paling krusialnya adalah bagaimana seseorang bisa tertarik untuk menyukainya (baca: menonton kartun) jika dia sendiri tidak benar-benar memiliki sesuatu yang saya katakan sebagai bentuk "keterikatan"?

Sejujurnya, saya tidak pernah peduli—atau sekadar mengurusi— selera orang lain apalagi untuk sekadar tontonan, sama seperti orang lain yang tidak akan ambil pusing pula dengan apa yang jadi selera saya. 

Tulisan ini cuma bentuk refleksi bagaimana cara kita memilih untuk merayakan bahagia; pendek kata, selama saya bisa bahagia dengan menontonnya, kartun akan tetap ada di hati saya.

Itu saja.

Jadi, kalau dikonversikan dengan persen, seberapa suka kau dengan kartun, kawan?

Tak perlu terlalu kau resapi, biarkan sisi kanak-kanakmu yang berbicara kali ini.

Tabik.

Disclaimer:

Saya sama sekali belum terkontaminasi untuk ikut-ikutan gaya masa kini orang-orang yang nonton drakor ini dan itu. Saya punya penilaian saya sendiri dan itu relevan untuk saya sekarang. Jadi, kalau pada akhirnya saya tertarik nonton drakor, mungkin pertahanan saya sudah jebol.

Tulisan ini sekali lagi adalah penilaian subyektif saya. Saya tidak bermaksud menyinggung pecinta drakor di luar sana—kita hanya punya limit selera yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun