Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Feminisme: Sebuah Catatan Singkat tentang Pancasila yang Bukan Semata-mata "Saya Indonesia Saya Pancasila"

1 Juni 2021   15:09 Diperbarui: 1 Juni 2021   22:12 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setali tiga uang namun di cerita yang berbeda, kita kerap pula merampas hak-hak saudara kita padahal jelas-jelas kita tahu mereka perlu untuk dibantu.

Lantas di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu?

Di sinilah feminisme berperan menggandeng Pancasila.

Feminisme mengajak seseorang untuk adil bahkan dari sejak dalam pikiran. Ia tidak semata-mata memperjuangkan harkat dan martabat para puan melainkan siapapun yang merasa mengalami ketimpangan dan ketidakaadilan—sekali lagi—tak peduli apapun jenis kelamin dan gender-nya.

Dia mengajak kita berjuang dari ketimpangan dan ketidakadilan tersebut di seluruh lini kehidupan baik dibidang sosial, ekonomi, akses pendidikan, hukum (baca: baik hukum negara maupun hukum norma yang ada di masyarakat)—bahkan agama sekalipun, dan lain sebagainya. Ia merupakan bagian dari revolusi untuk "menjebol" sistem yang dengan berat hati saya katakan sebagai sistem eksploitatif dan diskriminatif.

Bapak bangsa sekelas Soekarno pastilah tidak sembarangan dalam merumuskan Pancasila, kawan. Beliau tidak semata-mata membuat orang yang menghormati Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara sebagai orang yang mengaku dirinya paling Indonesia hanya karena hapal tiap silanya dan ingat kapan hari lahirnya. 

Jelas tidak demikian—tidak sesempit itu, kawan.

Bercermin dari apa yang telah diupayakan Bung Karno tersebut, izinkan saya untuk mengatakan ini:

kita tidak perlu mengaku paling Indonesia jika penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari saja kita masihlah salah kaprah—alih-alih salah arah.

Hingga sampailah kita pada sebuah simpulan dengan mengutip ucapan Profesor Ariel Heryanto, seorang guru besar School of Culture History and Language di The Australian National University yang mengatakan 

bahwa mencintai tanpa memahami sesuatu itu cinta buta—namun memusuhi tanpa memahami sesuatu namanya sikap membabi buta.


Jadi, jika ada seseorang yang menilai feminisme tidak sejalan dengan Pancasila maka mungkin patut dipertanyakan ke-Indonesia-annya. Maka bijaklah.

Selamat memperingati momentum hari lahirnya Pancasila, adil dan setara lah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun