Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Dalam Berkarya Semua Orang Punya Formula, Ini Salah Satu di Antaranya

31 Mei 2021   06:15 Diperbarui: 31 Mei 2021   20:06 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lebih tajam pedang dibandingkan barisan kalimat seseorang yang menulis karena kegelisahan.

Maaf jika saya mengubah kalimat bijak menyoal menulis yang kerap kau tahu, kawan. Karena percayalah, saya punya "gaya" saya sendiri dalam menuliskan sesuatu. Saya tak takut untuk dihakimi untuk hal yang satu ini.

Bagi saya, menulis tak hanya sekadar hobi melainkan gaya hidup tentang bagaimana saya mengolah rasa terhadap apa yang saya rasakan. 

Di sisi lain, ia perwujudan salah satu dari tiga cara saya berkarya. Hanya saja, tak banyak orang tahu, jauh sebelum saya menasbihkan diri sebagai seorang visual storyteller (baca: fotografer dan desain grafis), saya lebih dulu sudah mendeklarasikan diri saya sebagai orang yang akrab dengan aksara dan sudah barang tentu telah memetik hasil yang lumayan sejak saya menggelutinya.

Untuk bisa menulis—apapun itu—modal utamanya hanya satu: jujur pada diri sendiri. 

Saya pribadi menulis tujuannya cuma dua: sebagai monolog terhadap diri sendiri—sebenarnya lebih banyak hanya untuk saya konsumsi sendiri atau sengaja saya publikasikan secara tersirat dalam bentuk konten tulisan lain—atau sebagai bentuk lain untuk berdialog dengan banyak orang agar mereka mengetahui sesuatu yang sebaiknya mereka tahu.

Dan seperti kebanyakan orang yang menyukainya, menulis adalah aktivitas yang juga memiliki tempat khusus dalam diri saya—tempat yang tak bisa digantikan oleh seni bercerita lain yang menjadikan siapa saya hari ini (baca: sebenarnya ketiganya tidak bisa menggantikan satu sama lain. Ketiganya berdiri berbeda dengan kekhasannya masing-masing).

Menulis adalah cara lain bagaimana saya membangun rasa percaya diri yang terkadang jatuh; cara saya melakukan terapi "healing" dari sesuatu yang diluar ekpektasi saya sebagai manusia—dan yang jelas sebagai cara lain bagi saya tentang bagaimana saya menerjemahkan apa yang melintas dalam kepala dan hati saya (baca: menguraikan emosi tentang senang, sedih, kecewa, marah, patah hati dan lain sebagainya) dan memverbalkannya dalam bentuk—ribuan—kata-kata.

Seseorang yang menyukai aktivitas ini, sesuai "kodrat"-nya memiliki formula tersendiri dalam melahirkan tulisan yang ingin dia buat. Pun saya demikian.

Kali ini, saya akan meromantisasi proses saya dalam menulis, yang tentu saja beberapa di antaranya tak ada satu pun orang yang tahu. Namun, saya tak keberatan untuk membagikannya sekarang—ya, seperti pada beberapa poin di bawah ini.

Komputer jinjing sebagai alat pendukung kegiatan menulis. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Komputer jinjing sebagai alat pendukung kegiatan menulis. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

# Brainstorming itu penting

Untuk tulisan yang sifatnya perlu khalayak tahu (baca: yang bertujuan memberikan informasi atau sejak awal saya maksudkan sifatnya persuasif), proses ini yang saya lakukan pertama kali.

Biasanya, langkah pertama, saya akan mind mapping terlebih dahulu dengan menuliskan apapun yang melintas dalam kepala yang mendukung tema "besar" yang saya buat—apapun itu—bahkan sekalipun itu sangat tidak masuk akal; saya akan menjadikannya dalam bentuk beberapa pointer yang saya buat di fitur notepad di komputer jinjing saya.

Saya punya alasan khusus mengapa tidak langsung mengetiknya di dokumen word. Itu saya lakukan karena saya tidak ingin terdistraksi dengan segala printilan tampilan fitur di dalamnya. Meskipun untuk sebagian orang tidak masuk akal, tetapi itulah yang saya rasakan.

Di notepad, saya bisa membuat pointer dengan cepat dan menjabarkannya tanpa merasa seperti di-"interupsi" (baca: merasa terdistraksi). 

Namun, dokumen word tetap memegang peranan penting karena software ini adalah tempat saya memoles tampilannya agar lebih bagus lagi (baca: segala hal teknis yang mendukung menyoal tulisan akan lebih mudah saya dapatkan di word)—terutama editing paragraf.

Fyi, saya setiap hari sebenarnya menulis dengan tangan, namun biasanya ini saya lakukan untuk mencatat agenda atau jurnal keseharian saya (baca: layaknya semacam diary untuk saya). Sila cari sendiri manfaat menulis dengan tangan apa-apa saja, teknologi dewasa ini sudah terlalu memanjakan kita.

Proses kreatif saya dalam menulis adalah brainstorming. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Proses kreatif saya dalam menulis adalah brainstorming. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

# Menulis adalah kunci pokoknya

Saya tidak akan menulis dengan njelimet sebagai tahap mengembangkan pointer yang saya buat. Saya menulis dengan hati—atau dengan kata lain saya tidak akan terlalu melibatkan aktivitas otak di sini karena itu akan punya porsinya sendiri nanti.

Pada proses ini pula, saya bisa meliarkan isi kepala saya, pun bisa menentukan apakah saya akan menggunakan diksi yang "terselubung" pada sebuah kalimat atau membiarkannya apa adanya saja. Pilihan untuk satire atau sarkas juga saya lakukan pada tahapan ini.

# Self editing yang bikin otak "keriting"

Menulis jauh lebih mudah dibandingkan proses yang satu ini. Bagi saya, proses ini yang paling menguras pikiran. Bagaimana tidak, pada proses ini saya dituntut "wajib" menggunakan sebaik-baiknya logika (baca: agar tidak rancu bagi siapapun yang membacanya—alih-alih gagal memahami maksudnya) termasuk penyusunan tata letaknya dalam bentuk tulisan yang utuh—hingga membuat konklusi dari tulisan tersebut.

# Selalu ada ritual

Pakem saya dalam menulis:

Saya tidak akan menulis sesuatu yang di luar kemampuan saya—atau yang temanya tidak menarik untuk saya bahas. 

Katakanlah saya seorang penulis yang jual "mahal"—dan menyoal memverbalkan kata-kata dalam bentuk tulisan saya punya semacam ritual-ritual tertentu yang tak "biasa"—alih-alih jika tidak ingin dikatakan aneh bin nyeleneh.

Misalnya, saya terkadang butuh mengambil satu buku secara random dari rak buku saya—atau dari buku yang berjejer di atas meja kerja saya—terlebih dahulu dan membuka halaman secara acak demi mencomot satu kata saja sebagai inspirasi untuk membuat kalimat pembuka; atau iseng melemparkan pertanyaan dalam bentuk polling di Instagram yang hasil jawabannya bisa semakin membulatkan ide saya—yang sebelumnya mungkin tak sepenuhnya matang—untuk kemudian saya tuliskan.

Dalam menulis juga saya tak bisa lepas dari musik. Ini adalah "wajib". Ini adalah bahan bakar kedua saya selain kopi—dan satu lagi, sssttt...semakin saya asyik dengan tulisan saya, saya kadang tanpa sadar duduk di atas kursi dengan posisi jongkok—apalagi jika saya merasa tulisan itu berada pada klimaks hingga mendekati antiklimaks. Ups.

Wujud mind mapping mentah dari project yang pernah saya tangani. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)
Wujud mind mapping mentah dari project yang pernah saya tangani. (Sumber: Dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

# No internet during writing

Dengan kata lain berselancar di internet tidak baik (baca: kecuali itu dilakukan saat proses brainstorming di mana mind mapping berlaku dan tentu saja pointer yang didapat dari internet tersebut tidak mendominasi dari pointer yang sudah saya buat sendiri).

Kenapa itu saya lakukan? Karena saya tak sudi memecah konsentrasi saya terhadap pointer yang sudah saya buat. Saya tidak ingin pijakan (baca: obyektivitas) tulisan saya "lemah" hanya karena terlalu banyak informasi yang menjejali kepala saya sekalipun saya menguraikannya dengan pendekatan pribadi.

# Out of Topic: ini pengakuan!

Saya penulis yang terbilang matre. Saya ogah menulis tanpa dibayar alias gratisan. Saya emoh menjadikan pihak-pihak tertentu berduit dari konten tulisan saya sementara saya cuma dapat nama yang mereka bilang beken (baca: karena bisa nampang nama untuk dilihat orang).

Saya tidak sepolos itu—oleh karenanya mutulisme itu penting. 

Setidaknya itu sudah saya pratikkan dengan pekerjaan saya sekarang sebagai seorang gig worker.

Saya bukan anak seorang raja yang agung, bukan pula anak seorang imam besar (baca: sesuai dengan kalimat bijak Imam Al Ghazali) maka tak ada alasan saya untuk tidak berkarya dalam bentuk tulisan.

Perkara bagaimana orang lain berusaha mencerna dan memahaminya, itu saya kembalikan pada masing-masing dari mereka (baca: saya tidak ingin semata-mata membuat orang lain terkesima. Saya sudah menjadi idola dengan cara saya sendiri.)—meskipun saya tetap memiliki "gaya" tersendiri dalam menulis; formula ala saya.

Karena bagaimana pun juga gaya saya adalah identitas saya; personal branding saya—dan yang "mengenal" saya dengan baik tahu akan hal itu.

Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun