Apa kesamaan antara seorang penulis dan seorang fotografer?
Ya, keduanya seniman; yang satu seniman kata dan yang lainnya seniman mata.
Saya fotografer. Sebagian teman-teman saya fotografer—atau mungkin kau juga seorang fotografer.
Tapi, apa yang membedakan antara sejatinya fotografer dengan orang lain pada umumnya sehingga mereka layak disematkan sebagai seniman "mata"—alih-alih disebut seorang yang ahli dalam seni olah cahaya?
Selain "kepekaan" terhadap momen sebagai jawabannya—entah datang di depan mata atau dengan sengaja menciptakannya dan olah "rasa" yang sedikit tak biasa; poin selanjutnya saya sepertinya harus dipaksa untuk sepakat dengan kata-kata seorang penulis buku terlaris Earth Seen from The Sky (kau boleh cari sendiri siapa dia di internet)—seseorang yang ingin mengambil sebuah foto yang bisa dikatakan berkualitas, juga harus terlebih dahulu lupa bahwa dia sedang berada di belakang lensa ketika mengabadikan sesuatu—tak peduli apapun obyek yang sedang dia foto saat itu.
Setidaknya, poin kedua ini bisa menjadi alasan "pembenaran"Â untuk saya ketika tanpa sadar melakukan akrobat (baca: terkadang saking sibuknya dengan obyek foto sampai lupa keadaan sekitar dan tak jarang mengundang keanehan atau cekikikan orang-orang) tatkala menunaikan job foto.
Well, tak pernah ada aturan baku dalam seni visual, termasuk dalam dunia fotografi. Semua pelaku seni visual tahu itu: semua tidak sama. Justeru semakin berbeda dalam melakukannya dan menyikapinya maka semakin terasa nyeni-nya; semua berpulang pada selera pandang di mana manusia sebagai pelakunya.
Fotografi itu sendiri tak jauh-jauh dari membahas seputar genre, komposisi, setting kamera, angle—dan lain sebagainya termasuk obyek yang hendak difoto. Namun, semuanya tak lebih dari sekadar unsur "pendukung" dari bagaimana mata dan otak manusia bekerja (baca: untuk tujuan apa foto itu diabadikan).
Dan tentu saja seorang fotografer sangat lekat dengan kegiatan berburu (baca:Â hunting), terlepas itu dilakukan secara konseptual atau tidak. Karena memang sejatinya, seorang fotografer haruslah sedekat mungkin dengan obyek buruannya untuk memahami esensi dari sebuah "rasa" dan membuat orang lain percaya akan hal itu.
Hanya saja, selama hampir satu dekade berkecimpung di dalamnya, beberapa pandangan saya terhadap dunia ini masih lah belum berubah—ketika saya semakin mendekati jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pribadi saya, semakin jauh pula jawaban itu untuk saya dapati.
Oh, tentu saya sedang berbicara tentang betapa patriarki-nya fotografi dan seluk beluk di dalamnya. What else?