Disadari atau tidak siklus hidup selalu bicara tentang pembuktian diri, termasuk soal menemukan pasangan jiwa—dan perjodohan hanyalah bagian dari strategi untuk bertemu dengannya.
Pada prosesnya perjodohan memiliki dua wajah (baca: bagi mereka yang menyikapinya): diterima dengan "baik" atau dihindari tanpa kikik.
Namun, ada satu hal yang harus kau camkan:Â
jangan—sok— berusaha menjodohkan seseorang jika yang bersangkutan tidak memintanya!
Karena, percayalah, jauh dari dalam hatipun kau tidak akan sudi diperlakukan sama.
Oh, c'mon kalau kau bukan termasuk orang yang sedang berupaya menjodohkan orang lain, tak perlu senewen. Santailah sedikit.
Sampai detik ini saya masih menganggap orang-orang yang memilih untuk repot menjodohkan seseorang dalam sebuah perjodohan (baca: ujug-ujug tiada angin tiada hujan main menjodohkan orang) adalah orang yang kurang "kerjaan".Â
Mengapa saya katakan demikian?Â
Karena saya menilai mereka seolah paling tahu kebutuhan dan standar kebahagiaan (baca: bahagia dengan menikah)Â seseorang itu seperti apa. Dengan dalih niat baik, mereka merasa ikut bertanggungjawab bertemunya seseorang tadi dengan jodohnya. Padahal, belum tentu dia mau menyumbang dana lebih banyak untuk urusan pernikahan kelak. Ups.
Lalu bagaimana jika orang tua yang menjadi dalang di balik sebuah perjodohan?
Non sense!
Orang tua yang melakukan itu seringnya tak lebih karena ada tekanan (baca: kerabat atau malah tetangga)—atau anggap saja mereka mungkin lupa jika mereka sudah lebih dulu menjalaninya (baca: pernikahan)—dan hasilnya, bahagia atau tidaknya kehidupan, tah, tak tiap kali diumbar-umbar alih-alih dipertontonkan.