Tak ada satupun orang di bawah kolong langit ini yang menginginkan pernikahannya berujung perpisahan—sekalipun itu diucapkan dari bibir orang yang pada akhirnya memilih tak setia.
Di sinilah letak sakitnya!
Pernikahan yang tidak sehat akan menimbulkan luka batin—bahkan trauma.Â
Namun, itu bisa dicegah jika perjodohan tak diterima.
#3 Bukan warisan.
Orang yang pernikahannya dimulai dari "metode" perjodohan biasanya punya alasan yang kuat untuk "mewarisi"nya pada generasi selanjutnya—dan bukan tidak mungkin siklus itu akan berulang dan akan diteruskan lagi dan lagi di kemudian hari kelak.
Padahal upaya perjodohan yang digencarkan tak selalu berbanding lurus terhadap mulus atau tidaknya kehidupan pernikahan.
#4 Bukan sesuatu yang obyektif.
Jika kau sanggup mengatakan kecantikan itu adalah sesuatu yang relatif maka izinkan saya mengatakan jika kebahagiaan itu adalah sesuatu yang subyektif.
Semisal contoh, sebagian mungkin mengatakan punya dua anak cukup untuk dikatakan bahagia bagi sepasang manusia yang telah menikah—namun sebagian lain mungkin mengatakan haruslah tiga—atau sebagian orang menilai, menikah diusia kepala tiga jauh lebih "aman" dari segala hal dibandingkan mereka yang memutuskan menikah pada rentang usia yang berada di bawahnya.
Lewat poin ini, saya ingin mengatakan:
mereka yang berusaha menjodohkan bukanlah penentu kebahagiaan.
Sejatinya, mau single atau taken, hidup pada dasarnya akan selalu bicara sesuatu yang tak sepenuhnya utuh; kebahagiaan hanya berpulang pada diri sendiri.
Perjodohan, bagi yang menerimanya—atau yang telah menjalaninya—akan dianggap sebagai jalan ninja baginya untuk mengingat orang yang pernah singgah berikut segala ceritanya—dan