Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Kepengin Nikah? Perbanyak Dulu Adegan Marahnya

16 Mei 2021   09:30 Diperbarui: 16 Mei 2021   18:09 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepasang cincin. (Sumber: dokumentasi pribadi/Foto oleh Kazena Krista)

Ramadan berlalu sudah, terbitlah undangan nikah!

Bulan Syawal, bulan baik untuk menikah. Ini jelas bukan kata saya. Saya bilang begini karena saya ke-trigger ceramah-ceramah yang pernah mampir di telinga. Jadi, buat yang belum menikah, tak ada maksud saya membuat kau kecewa lantaran saya bahas-bahas menikah. Senyum dong ah.

Buat sebagian orang menikah dianggap sebagai bentuk penantian dari harapan. Bagaimana tidak, yang tadinya satu kepala, jadi dua; yang tadinya satu hati, eh, ditambah satu lagi, kan jadinya hepi?

Logika sederhananya begitu kan ya?

Suatu kali saya pernah mengadakan polling di Instagram dengan melempar satu pertanyaan tentang percayakah teman-teman saya pada konsep long distance relationship?

Hasil polling-nya nyaris imbang.

Tetapi, kalau saya pribadi, saya tidak percaya hubungan dengan gaya ini.

Menikah itu tak cuma perkara menikahi "kebiasaan" namun juga menikahi "pemakluman" dari watak pasangan—dan menurut saya long distance relationship menjadi jalan yang agak riskan untuk dilakukan sehingga gaya hubungan ini tidak saya jadikan sebaik-baiknya saran, apalagi jika dia yang memikat hati kau kenal melalui online dating yang boleh jadi membuatmu dan dia sangat jarang bertemu.

Saya tidak bilang, sedikit yang berhasil. Tah, dalam dunia nyata banyak kok pernikahan yang diawali virtual feeling lebih dulu dan bertahan. Pernikahan karena "dijodohkan" pun demikian. Baiklah, saya tak berniat membahas proses perkenalannya—bukan itu.

Mari kita sepakati bahwa pernikahan adalah kerja tim antara dua manusia dengan serangkaian kompromi yang dibentuk dari jalinan komunikasi-komunikasi di dalamnya. 

Tetapi, bagaimanapun saya juga mau bilang, jangan mudah percaya gula-gula masa penjajakan. 

Karena hari-hari pasca hari-h pernikahan adalah sejatinya kenyataan—

bisa jadi saling percaya saja tidak cukup; saling setia saja tidak jadi jaminan—keduanya malah seringkali tidak jadi modal yang sepadan untuk seseorang mengharapkan sebuah pernikahan idaman.

Oh, memangnya ada pernikahan yang benar-benar idaman?

Di sinilah letak rumitnya.

Saya sering bilang begini tatkala menyinggung pasal-pasal dalam sebuah hubungan di tiap sesi asmara bersama siapapun lawan bicara saya: sebelum kau memutuskan menikah, kau dan calon pasanganmu harus melewati fase adegan "marah" yang lebih sering, terlepas kau sengaja melakukannya atau tidak—dan sebagai tipikal orang yang suka cari-cari "masalah", saya sih suka memancing "keributan". Ups.

Bukan apa-apa, saya bercermin dari banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga—yang tidak sedikit pula berujung perceraian—yang terjadi setelah tahu ternyata pasangan yang dinikahinya sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan sebelumnya (baca: saat pacaran).

Saya tidak sedang ingin menambah beban pikiran siapa-siapa dengan mengatakan ini—alih-alih menakut-nakuti. 

Tapi, memang faktanya berkata demikian.

Lagipula, apa istimewanya sih punya pasangan yang—sangat—jarang marah? 

Bukankah itu kelak bisa menimbulkan masalah setelah menikah?

Padahal, ada sisi lain yang boleh dikatakan baik dari adegan marah-marah yang saya katakan tadi—setidaknya menurut saya.

Bukankah semakin sering seseorang tahu sikap calon pasangannya ketika marah maka semakin sering pula dia melihat secara langsung bagaimana gesture pasangannya. Semakin tahu pula bagaimana mimik muka pasangannya tersebut—atau reaksi spontannya.

Bukankah semakin sering seseorang melihat sikap calon pasangannya ketika marah maka semakin sering pula dia tahu bagaimana calon pasangannya bernegosiasi dalam memecahkan masalah, tahu bagaimana cara calon pasangannya meng-handle—kedua isi kepala (baca: kau dan dia), tahu sisi manjanya—dan tentu saja tahu ambang batas saat dia menahan rasa kesalnya?

Saya persingkat saja:

gede ambeklah sesering yang kau mau—bahkan untuk hal yang sepele sekalipun.

Kesampingkan dulu  kemungkinan terburuk, karena memang bukan itu tujuannya. Ini hanya salah satu trik untuk tahu bagaimana caranya bertahan kelak dalam biduk rumah tangga.

Jika kau dan dia bisa bertahan dalam fase "gede ambek" dan "marah-marah" ini maka yang menunggu adalah pelaminan—jika tidak (baca: bubar jalan) menangislah kalau perlu dan move on lah secepatnya yang kau mau.

Cuma yang perlu diingat, kau harus memiliki pengendalian diri yang baik nantinya. Proses ini sebisa mungkin jangan dilakukan dengan terlalu kekanak-kanakan.

Memilih seseorang untuk menghabiskan sisa usia bersama jelas bukan perkara mudah: dan yang paling menguras tenaga adalah adegan marah-marah serta gede ambeknya.

Kelak, jangan sampai sindiran yang kau alamatkan terhadap mereka yang belum menikah akan kau sesali hanya karena kau salah pilih.

Tabik.

Disclaimer:

Antiklimaks dari tulisan ini semua saya kembalikan pada penilaian masing-masing.  Karena boleh jadi ini hanya relevan untuk saya, tidak untuk setiap orang di luar sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun