Jika kelak kau memiliki perusahaan, maka bayar lah mahal tim marketing yang kau punya lebih dari tim bidang lainnya yang ada.
Seseorang pernah berkata begitu pada saya. Ketika saya tanya mengapa demikian, dia menjawab “mereka memiliki hati seperti baja.”
Katanya lagi, jika mereka itu (baca: para marketer) akan—dan selalu—membuang rasa tidak percaya diri mereka terlebih dahulu demi mengawali berkenalan terhadap orang baru; selalu menyiapkan diri terhadap penolakan—yang boleh jadi akan diakhiri dengan atau tanpa misuh-misuh.
Mereka adalah tombak; ada di garda depan. Salah satu "senjata" dalam lingkar terluar.
Hingga sampailah kita pada simpulan bahwasanya meyakinkan orang lain memang butuh banyak usaha (dan keahlian). Karena kalau kau bisa melakukannya (baca: lebih baik), kau tidak akan mungkin mengandalkan mereka.
Mari kita bersinggungan dengan seni berkomunikasi dalam bicara.
Sejenak akan saya ajak kau memutar ulang waktu ke lebih dari satu dekade lalu, tepatnya pada tahun 2010.
Kala itu saya menonton satu film di sebuah bioskop yang berjudul King's Speech.
Filmnya diangkat dari kisah nyata yang bercerita tentang seorang calon pewaris tahta kerajaan Inggris yang gagap dalam bicara. Film ini menarik sekaligus unik. Karena bagaimana mungkin seorang—calon—pemimpin bisa dipercayai oleh rakyatnya sedangkan ia sendiri gagap dalam mengolah kata?!
Berkat memerankan Prince Albert atau Duke of York ini, Colin Firth sukses menggondol piala oscar pertamanya dalam kategori Best Actor—untuk lebih jelasnya, kau boleh mencari tahu filmnya dan sila tontonlah.
Film ini pada akhirnya memusatkan perhatian saya pada seni berkomunikasi seseorang; seni dalam bercerita.
Saya pernah membaca satu cuitan pendek di laman Twitter (yang intinya):
Having a good communication skill is a sign of intelligence.
Saya sepakat dengan isi cuitan tersebut.
Memang benar orang-orang cerdas selalu bisa diukur dari bagaimana cara mereka memverbalkan kata tentang apapun yang melintas dalam kepala; tentang bagaimana mereka paham memilih dan memilah kata dengan tepat dan sesuai porsinya.
Maka, amini lah jika selalu ada hipotesis untuk ia yang jago bicara.
Tak percaya? Ini beberapa contoh hipotesis mengenai mereka.
#1 Cakap dalam merespon
Ini hipotesis pertama: seseorang yang piawai dalam seni berkomunikasi (bicara) tahu kapan akan merespon—dan apa yang akan direspon—lawan bicaranya. Tentu saja terlebih dahulu ia akan membiarkan waktu mengendap sejenak untuk menelaah dan mengidentifikasi masalah.
Dalam prosesnya ia akan memanfaatkan keahliannya yang lain yaitu memperhatikan gestur, tutur dan kontak mata.
#2 Mustahil tanpa menjadi pendengar
Hipotesis kedua adalah ia yang pandai dalam seni mengolah kata adalah ia yang pandai pula mendengarkan lawan bicaranya.
Mereka adalah teman yang baik dalam menyimak saat kau berkeluh kesah—dan ketahuilah, ia boleh jadi pula dapat menangkap stres atau depresi di wajahmu tanpa perlu kau harus tahu.
#3 Pembual ulung nan meyakinkan
Nah, yang ketiga kuncinya, bahwasanya orang-orang yang memiliki seni dalam berkomunikasi yang baik pada saat mereka bicara adalah orang yang mampu meyakinkan orang lain terhadap apa yang mereka bicarakan.
Mereka boleh saja dianggap membual oleh sebagian orang—yang sayangnya mau tak mau membuat orang-orang itu percaya pada mereka.
Tengoklah orang-orang hebat yang kau jadikan inspirasi—coba tanyakan jauh ke diri sendiri, apakah akan ada sesuatu yang dahsyat yang terjadi jika mereka tidak pandai mempresentasikan apa yang ada dalam kepala mereka?
Sebelum orang lain percaya pada mereka, mereka telah lebih dulu melakukannya.
Yakinlah bahwasanya mengungguli seseorang dalam seni berkomunikasi bukanlah dosa—dan yakinlah pula mahir dalam memilih dan memilah kata mustahil mengandalkan keberuntungan semata.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H