Tetapi, saya pribadi tidak terlalu punya riwayat yang baik dalam bertetangga meski jelas saya katakan saya tidak memiliki musuh—alih-alih berniat mencarinya—di lingkungan tempat saya tinggal.Â
Saya hanya berkaca pada kecenderungan karakter saya yang tidak terlalu pandai berbasa-basi. Jangankan dengan tetangga, di rumah pun saya tergolong sebagai orang yang terbilang "pelit" bicara.Â
Saya kalau bicara di rumah itu kalau ada keperluan saja. Saya jarang mengumbar diri saya—curhat sana curhat sini, apalagi untuk urusan menyoal pribadi.Â
Di laman media pun demikian. Tersirat baik dalam konten atau bukan adalah lebih baik bagi mereka—siapapun itu—menerka sendiri siapa diri saya dari kaca mata mereka.
Karena poin dewasa versi saya adalah jika seseorang sudah bisa menertawakan diri sendiri berikut segala suka dan duka yang ia alami.
Nah, jika dalam pakem bertetangga seseorang harus dituntut ramah dengan sesama tetangga yang lainnya, jujur saya tidak terlalu bisa memberikan itu.Â
Dalam keseharian, saya sendiri tidak pernah keluar rumah sekadar untuk nimbrung ngobrol ngalor-ngidul tak jelas. Pun bahkan kalau ada keperluan untuk membeli sesuatu di warung yang tak jauh dari rumah, saya meminta tolong adik bungsu saya untuk melakukannya.Â
Dengan kata lain, bisa dipastikan saya sangat jarang keluar rumah tanpa ada ihwal yang mengharuskan saya keluar—menyangkut pekerjaan misalnya.
Ternyata itu menyelamatkan saya!
Mengapa demikian, mungkin kau bertanya?
Saya punya alasannya.
Tapi, mari kita samakan suara terlebih dulu, jika yang kita bahas di sini adalah para tetangga yang agak "gimana-gimana"Â gitu ya kan...