Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu, Tupai, dan Hakikat Belajar

2 Mei 2021   10:15 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen sosialisasi sebelum beberapa hari kegiatan "Mengajar Sehari Selamanya Menginspirasi" dihelat. (Foto: dokumentasi pribadi.)

Suatu hari di sebuah ruangan yang kira-kira luasnya 2 x 3 meter seorang perempuan muda bertanya pada seorang laki-laki.

"Mas, kalo dianalogikan dengan benda hidup atau benda mati, kamu bakal menggambarkan aku sebagai apa? Sebutin dong, hm...tiga aja dulu deh?!" Tanya si perempuan dengan antusias. Raut mukanya terlihat tak sabar menunggu jawaban. Laki-laki yang ditanyainya sebenarnya sedang berkutat dengan komputer jinjingnya. Rupanya dia sedang mengerjakan sesuatu.

Karena gemas pertanyaannya menggantung dan tak kunjung dijawab, si perempuan yang tadinya duduk di kursi yang beberapa langkah dari meja si laki-laki bekerja, menarik kursinya lalu duduk tepat di hadapan laki-laki itu—lumayan membuat si laki-laki sedikit kaget.

"Ih, jawab dong?" Perempuan itu sedikit manyun. Tangan kirinya terlipat di atas meja sedangkan yang lain menopang dagu.

Laki-laki itu menurunkan layar komputer jinjingnya lalu memindahkannya ke sebelah kiri—di atas meja—dari tempat posisinya duduk. "Hm...tiga ya?"

Muka si perempuan mendadak sumringah lagi, "iya, tiga! Aku pengin tau, aku di mata Mas itu gimana gitu lho? Penasaran aku, Mas."

"Kamu itu...batu," ujar si laki-laki mantap pada akhirnya. Sejurus kemudian menatap sebentar perempuan yang duduk dengan punggung kursi terbalik yang ada di seberang meja dari posisinya berada. Diamatinya sebentar dengan tatapan tajam dengan penuh telisik, lalu, "...tupai."

Lalu laki-laki itu berhenti bicara.

Kemudian hening.

"Terus, yang ketiga apa?" Si perempuan kembali mencecar.

Sembari menyunggingkan senyum bulan sabitnya, laki-laki itu menjawab, "rahasia..."

Alur beserta setting yang saya ceritakan di atas bukan rekaan. Itu kisah nyata dan saya lah si perempuan itu.

Itu terjadi beberapa tahun silam, saat saya masih tercatat sebagai seorang produser di sebuah radio bersegmentasi dewasa muda (range usia pendengar 25-35 tahun-an)—dan laki-laki yang jadi lawan bicara saya adalah radio coach saya, yang menjadi guru saya tentang bagaimana menjadi produser radio yang baik: tentang bagaimana menghasilkan show yang "luar biasa" untuk didengar, bagaimana meminta kompilasi lagu yang baik (enak didengar sesuai musical flow jam-jam siaran)—untuk kemudian nanti menyodorkannya pada Music Director, tentang bagaimana membangkitkan mood yang oke bagi para penyiar yang saya pegang acaranya—dan lain sebagainya.

Bukan tanpa alasan saya menanyakan pertanyaan seperti yang saya ajukan padanya waktu itu. Selain memang dituntut untuk tidak boleh berhenti berpikir kreatif dan imajinatif, orang-orang yang bekerja di industri media macam kami (setidaknya ketika saya masih berkecimpung di dunia broadcasting seperti waktu itu) juga harus dituntut aktif mempertanyakan hal-hal yang membuat orang-orang seperti kami merasa penasaran.

Begitulah ihwalnya.

Batu.

Pertama, dia menganalogikan saya dengan batu karena watak saya yang keras. 

Dia benar, tak ada satupun yang mampu mengubah pandangan saya terhadap sesuatu jika saya tidak ingin mengubahnya dan jawabannya tetap akan "tidak"—setidaknya selama saya belum benar-benar membuka tempurung kepala saya untuk penjelasan yang masuk akal—sekalipun saya sadar penuh terkadang tidak berubahnya sesuatu itu didasari karena ego saya yang kelewat besar.

Tupai.

Kenapa saya disebut Tupai olehnya? 

Karena katanya saya bisa gesit bergerak—meloncat atau berjingkat—tapi karena ceroboh, bisa pula terjatuh lalu menggelinding ke bawah: jatuh ke tanah. Dijelaskannya demikian karena saya dianggapnya memiliki sesuatu yang bisa "meledakkan" kepala dengan hanya memikirkan sesuatu yang aneh, ajaib, di luar nalar, unpredictable—namun terkadang bisa pula berpikiran yang terlalu polos, naif, dan kekanak-kanakan.

Hingga hari ini, saya tak pernah melupakan kejadian hari itu. Saya selalu mengingatnya dengan baik—sangat baik. Bukan pada poin "batu"-nya tapi pada poin "tupai"-nya—dan poin itu cukup membuat saya tak perlu menanyakan lagi apa analogi ketiga yang sebenarnya dia sebut dengan "rahasia". Meskipun sebenarnya sangat ingin tetapi lantas terlupakan begitu saja seiring waktu—dan sekarang jika pun saya mengulang pertanyaan yang sama padanya, saya agak ragu mendapatkan jawaban yang sama persis seperti yang radio coach katakan pada hari itu. 

Tak semua orang memiliki ingatan yang baik terhadap sesuatu jika "sesuatu" itu tidak terlalu membekas pada dirinya—alih-alih mungkin hanya didengar atau diucapkannya sambil lalu.

Momen percobaan mengajar yang dilakukan panitia termasuk saya sendiri. (Foto: dokumentasi pribadi.)
Momen percobaan mengajar yang dilakukan panitia termasuk saya sendiri. (Foto: dokumentasi pribadi.)

Jadi cukuplah berhenti di kata "rahasia", saya tak ingin merusak masa lalu yang saya anggap indah (untuk dikenang).

Mungkin radio coach saya benar. Saya adalah tipe pemikir berat yang kadang sangat sulit diajak bersenang-senang oleh orang lain. Tidak seperti dia yang setiap hari sepanjang saya mengenalnya selalu bisa menghadirkan tawa terhadap orang yang dia temui—selalu bisa menghangatkan hati dan tentu saja tak sulit mengajaknya bicara dari hati ke hati.

"Kamu cuma butuh lebih banyak senyum. Ngga perlu seluruh isi dunia harus masuk dalam kepala kamu." Pungkasnya suatu kali lalu setelahnya tergelak di hadapan saya. Mungkin pula secara langsung (atau tidak?) dia sedang menertawakan keruwetan isi kepala saya. Hehe.

Mungkin radio coach saya benar—sekali lagi saya harus membenarkan ucapannya hari itu. Saya—memang—adalah tipe orang yang tidak jago berbasi-basi untuk hal yang tak penting-penting amat—alih—alih sengaja bermanis-manis rupa di hadapan orang-orang yang berbicara dengan saya.

Tetapi, tidak di hadapan anak-anak. 

Saya seolah takluk. Sisi kanak-kanak saya bisa dengan lekas bergejolak. Dengan jiwa yang lapang, hati saya penuh dengan kehadiran utuh sebagai manusia yang begitu kecil dengan keinginan tahu yang membulat besar. Silakan bayangkan sendiri, Kawan, karena saya terkadang kehabisan kata-kata untuk menggambarkan mereka.

Pada akhirnya, izinkan saya berkata bahwasanya di hadapan mereka, jiwa saya seolah "menundukkan" diri; sejajar dengan kemurnian hati: kepolosan mereka yang menari-nari adalah bentuk panggilan bagi saya.

Kemurnian hati mereka pulalah yang membuat saya pernah terpanggil untuk ikut bagian dalam mengajar sehari dalam gerakan Kelas Inspirasi.

Ketika itu saya membidangi bagian perekrutan para relawan pengajar yang bersedia ingin berbagi dalam sehari yang menginspirasi tersebut. Selama proses berjalannya, meski lelah fisik dan mental, saya merasa puas melihat wajah ke-Indonesia-an dari dekat—wajah-wajah penuh harapan akan cita-cita—untuk turut andil berkontribusi memajukan Indonesia—di masa depan lengkap dengan segala "kepayahan" yang menyertai perjuangan mereka.

Hamburkanlah lagi banyak pertanyaan yang sama: mengapa harus anak-anak?

Maka boleh jadi akan saya jawab dengan versi lain tetapi tetap dalam gugusan yang sama dan tak keluar dari porosnya: karena dari anak-anak lah saya mampu bercita-cita lebih tinggi; berpengharapan yang tak putus-putus—setidaknya sebelum manusia dewasa seperti kita meneror mereka dengan kekhawatiran—alih-alih rasa takut—tentang masa depan.

Saya justeru belajar dari mereka, saya murid di hadapan mereka. Saya bisa merasa merdeka belajar dari mereka.

Karena yang jelas saya tahu pula, tak peduli ada momentum atau tidak (baca: Hari Pendidikan Nasional) sejatinya hakikat hidup adalah belajar sepanjang hayat.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun