Beberapa waktu lalu saya pernah mengadakan polling di Instagram saya. Pertanyaannya sederhana, di antara mentally stable dan financially stable mana yang akan para teman-teman followers saya pilih. Dari dua opsi yang saya lempar, sebanyak tujuh puluh dua persen memilih menjawab kestabilan secara mental dan sisanya sebanyak dua puluh delapan persen sepakat memilih stabil secara finansial.
Tidak mengejutkan meskipun dari polling itu saya dapat menarik simpulan sendiri setelahnya.
Tentu saja kebanyakan teman-teman saya dominan memilih stabil secara mental. Pun saya juga demikian sebenarnya. Karena dengan mental yang sehat lah seseorang kelak baru dapat merancang masa depan yang diisi dengan susunan pencapaian-pencapaian—yang mungkin di antaranya terdapat pencapaian finansial: stabil secara keuangan.
Stabil secara mental atau keuangan adalah bagian dari target hidup kebanyakan orang. Bicara target berarti kita membicarakan tujuan hidup—dan tujuan hidup setiap orang mungkin sedikit berbeda tiap individu (secara spesifik) tetapi secara skenario besarnya tetaplah sama (secara garis besar).
Sebagai contoh, kita memasukkan anak-anak kita ke sekolah karena kita lebih mementingkan soal "memang sudah waktunya" BUKAN karena memang anak-anak kita "mau" atau karena mereka benar-benar "memintanya" hingga pada akhirnya mereka terjebak dalam struktur yang tidak benar-benar mereka sukai. Sekolah dianggap beban dan mereka sulit berdamai dengan itu. Tak heran banyak dari mereka (baca: ketika mereka sudah dikatakan mampu menganalisis) sampai harus diarahkan (lagi?) minat dan bakatnya agar tak salah menentukan arah (hidup?).
Karena awalnya tujuan kita baik (karena secara akal mereka yang dini ini perlu diarahkan) keputusan kita bisa dimaafkan; manusia dewasa adalah trigger untuk mereka.
Tak cukup satu contoh sebagai gambaran?
Baiklah, saya kenal satu orang perempuan. Dia ada di sirkel terdekat saya. Dia pernah berujar, dia baru akan benar-benar memikirkan menikah disaat usianya dua puluh delapan. Bayangkan? Baru akan memikirkan diusianya yang kedua puluh delapan?!
Alasannya, dia tak ingin buru-buru menghabiskan masa bebasnya (dengan membersamai seseorang sepanjang hidupnya namun disisi yang berbeda dia terbelenggu karena kebebasannya sebagai individu dirampas) sebagai perempuan yang merdeka—alih-alih dia memang sudah tahu benar bagaimana struktur masyarakat kita bekerja—meskipun sebenarnya dalam kondisi saat dia mengatakan itu, dia sudah berada dalam struktur yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja.
Lalu, bagaimana dia sekarang?
Dia tetap belum menikah diusianya yang sudah berkepala tiga.
Ah, boleh jadi proses yang akan ditempuhnya akan panjang—sepanjang pergolakan dalam pikiran dan hatinya.
Tapi, sumpah, dia pernah berkata seperti ini: "kenapa tujuan hidup orang kebanyakan harus ditentukan—yang dimulai—dengan sekolah, bekerja dan ujung-ujungnya menikah?!"
Ya, skenario kebanyakan orang memang kurang lebih begitu: sekolah-kuliah-bekerja-menikah-punya anak-dan bla...bla...
Apakah setiap orang harus memiliki tujuan dalam hidup? Mengapa harus memiliki tujuan hidup? Mengapa kita dituntut untuk memilikinya? Bagaimana jika seseorang tidak memilikinya?—atau memang pada akhirnya—seiring perjalanan waktu—dia tidak ingin memilikinya? Apakah dia pantas untuk disebut seseorang yang gagal?
Terjangan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap membuat frustrasi saya sebenarnya. Terlalu banyak target—dan mempertanyakannya—memang akan (baca: sering) bikin pusing diri sendiri.
Karena orang-orang menandainya (baca: tujuan hidup) sebagai kebahagiaan dalam hidup—yang parameternya adalah kesuksesan; di dalamnya ada uang dan nama besar.
Jelas saja karena keduanya memang punya daya untuk mengendalikan—berbanding lurus dengan pencapaian-pencapaian yang saya sebutkan diawal.
Pencapaian tidak akan ada tanpa ekspektasi. Itu hukum alamnya. Ekspektasi ada (katanya) sebagai busur dan motivasi adalah daya gedornya.
Tapi, tak semua dari kita menyiapkan diri (dengan memiliki mental yang tangguh) dalam seni mengelola ekspektasi—alih-alih frustrasi. Pada kenyataannya kita sedang mengerjakan "kepuasan" orang lain demi peng-A-K-U-an; demi dianggap A-D-A: demi E-K-S-I-S-T-E-N-S-I.
Ayo akui...
Â
Buktinya?
Ada yang sekolah dengan benar demi agar dianggap wajar.
Ada yang kepengin hati masuk jurusan seni rupa karena kepengin jadi seniman visual, eh malah masuk jurusan manajemen industrial supaya proses dapat kerjanya tidak menemui jalan terjal—hingga...
ada yang pada akhirnya menikah dengan label "sudah waktunya"Â demi menghindari nyinyiran tetangga.
Siklus—seperti berada di—neraka!
Miris.
Menangis.
Andai hidup benar-benar DINIKMATI.
Andai hidup tidak untuk mengejar EKSISTENSI.
Andai hidup tidak cuma sekolah-bekerja-menikah-lalu MATI.
Padahal target hidup bisa diajak kompromi jika kita mau meminimalkan ekspektasi yang kelewat tinggi.
Padahal target hidup bisa diajak kompromi jika kita mau sedikit cuek dengan "nyanyian" orang lain yang bisa membuat frustrasi.
Padahal tanpa target hidup yang ngoyo sekalipun, kita selalu bersentuhan dengan risiko-risiko.
Be different or be like others?
Choose yours well.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H