Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021 | Peduli menyoal isu sosial-budaya dan gender | Kontak: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

May Day dan Catatan Singkat tentang Hak-hak yang Tak Pernah Mereka Suarakan

30 April 2021   12:25 Diperbarui: 1 Mei 2021   05:15 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan tengah membersihkan kaca jendela. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Austrian National Library)

"Kau tak akan tahu apa yang dilakukan orang tua sebagai bentuk rasa kasih sayang sampai kau benar-benar telah menjadi orang tua!"

Jelas sekali kalimat yang sedikit itu kerap dijadikan tameng para orang tua apabila mendapati anaknya melakukan perbuatan yang diluar batas kewajaran—alih-alih tidak melakukan sesuatu terhadap apa yang mereka inginkan.

Saya tak perlu jauh-jauh mencari contoh sebagai bukti konkret pembenaran akan hal itu karena orang tua saya pun melakukannya kalau saya "ngeyel" terhadap mereka: mereka juga akan mengeluarkan kalimat pamungkas tersebut. 

Ya, kalau mau jujur, saya memang tipikal orang yang berkepala batu. Bahkan saya tak sungkan berkata—pada beberapa orang di ruang lingkup terdekat, sebelum saya memberitahumu dalam tulisan ini—jika kepala saya diadu dengan batu, batu lah yang akan hancur dan kepala saya utuh.

Masa kecil saya terbilang mandiri. Sebagai anak sulung, apalagi perempuan, almarhumah mama saya menginginkan saya tumbuh sebagai perempuan yang cakap dalam mengerjakan banyak hal dalam urusan domestik rumah tangga—yang pada akhirnya justeru menimbulkan pergolakan hebat dalam diri saya dan menjadikan siapa saya hari ini. If you know what I mean.

Sejak sebelum masuk sekolah dasar pun, saya sudah diajari ini dan itu. Dituntut untuk selalu tangkas mengerjakan sesuatu. 

Perihal mengasuh? Tenang, saya punya track record yang sangat mumpuni menyoal ini karena saya pun membantu mama mengasuh kedua adik saya sekalipun mama—pada akhirnya—turut andil membantu perekonomian keluarga kami tanpa melepas tugas-tugas domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Beliau adalah "kepala" dan saya anak buahnya. 

Saya tumbuh dari keluarga yang sangat pas-pasan. Perlu dicetak tebal dan digarisbawahi: SANGAT.

Jadi, sekalipun genting keadaaannya, sekalipun saya dan dua orang adik saya saban hari ditinggal-tinggal pergi (karena bapak dan mama saya bekerja), keluarga saya jelas tidak punya cukup banyak uang membayar pembantu rumah tangga—alih-alih pengasuh anak untuk menjaga kami di masa-masa itu.

Saya tidak bermaksud ingin menyamakan limit pas-pasan keluarga saya dulu padamu, Kawan. Saya juga tak mengganggap zaman sekarang sesuatu yang "wah" untuk dipandang. 

Tetapi, dulu di masa tahun 90-an—sependek ingatan saya yang saya tahu—masih sangat jarang orang menyewa jasa pembantu rumah tangga, apalagi pengasuh anak. 

Seorang perempuan tengah membersihkan kaca jendela. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Austrian National Library)
Seorang perempuan tengah membersihkan kaca jendela. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Austrian National Library)

Mungkin kebutuhan—buah dari keterdesakan—dan keadaan lah yang menjadikan sebuah keluarga pada akhirnya melakukan itu dewasa ini. Setidaknya itu yang kerap terjadi di kota-kota besar. Sekalipun itu di kota Palembang, tempat kami lahir dan dibesarkan.

Ngomong-ngomong soal pembantu rumah tangga (atau bahasa keren sekarang Asisten Rumah Tangga) pekerjaan ini dianggap kasta paling bawah, diwajarkan untuk diperintah-perintah, tugas domestik rumah tangga yang akan dikerjakannya selalu nangkring dalam kepala (nya).

Profesi ini terkadang lebih banyak menjalankan peran (kewajiban) dibandingkan memperjuangkan hak-hak yang memang sepantasnya mereka dapat dan tabiat jelek para tuan dan nyonya kerap tidak mereka sadari. 

Padahal, profesi pembantu rumah tangga (ART) itu tak ubahnya staf-staf kantor (entah tinggi atau rendah jabatannya) atau pegawai biasa lainnya yang kerap kita temui.

Tah, semuanya sama, semuanya digaji: semuanya buruh!

Karena, siapapun kau, selama kau masih bekerja bertuan langsung pada orang lain dan mendapatkan upah dari sana; selama kau bekerja dengan menganggukkan kepala terhadap maklumat (keputusan/perintah) yang diberikan padamu—atau kau bekerja masih ditentukan oleh jam-jam kerja yang tak benar-benar bisa kau atur waktu sendiri, kau adalah BURUH.

Tetapi, lihatlah mereka dalam kacamata kita sehari-hari atau bisa pula kau saksikan lewat cerita-cerita berbalut skenario di televisi tentang mereka yang selalu siap sedia kapanpun keluarga majikan meminta bantuannya. Dengan kata lain, jenis pekerjaan ini terkadang (dominannya) tidak memiliki jam kerja yang jelas dan valid. Buanglah jauh-jauh istilah office hour. 

Jadi, jangan kau keluhkan 9-5 (atau 8-4) yang kau rasa menyebalkan itu!

Jam lembur? Apalagi itu?

Jam lembur berlaku hanya bagi kau yang bekerja dengan ikatan kontrak yang jelas (di atas materai?), yang apabila perusahaan atau bos tempat kau bekerja melanggarnya dengan tidak memberikan remunerasi tambahan sebagai ganti jam lembur tersebut, maka akan bisa kau tuntut ke dinas terkait. Pembantu rumah tangga (ART) jarang bersuara soal ini. Entah karena ingin "tahu diri" dan memilih diam atau melakukan itu sebagai bentuk kewajaran.

Piawai dalam banyak jenis pekerjaan? Ya jangan ditanya!

Itu adalah kelaziman yang tak bisa disanggah. Ahli dalam banyak urusan domestik rumah tangga (bahkan kadang mengerjakannya dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan) adalah kewajaran: menyapu, mengepel, beberes rumah. Belum lagi menyetrika, memasak bahkan hingga menemani anak majikannya bermain, pun mereka kerjakan dan itu nyaris tanpa jatah libur. Tak heran, momen hari raya adalah momen para majikan berkeluh kesah. Para tuan dan nyonya seolah lupa orang yang membantu mereka dalam urusan pekerjaan rumah tangga juga memiliki sanak dan keluarga.

Coba tanyakan bagi kita yang katanya berpendidikan. Kalau kejadian, wah, bisa jadi sudah misuh-misuh saban hari saban malam akibat dibekap kelelahan apalagi jika pendapatan yang didapat tak sepadan. Mereka jauh didepan dalam pengelolaan jiwa yang sabar. Bekerja tekun—nyaris senyap—dalam keseharian. 

Mari lupakan tunjangan kesehatan—alih-alih tunjangan jabatan. Boro-boro pesangon atau uang yang disiapkan untuk pensiunan. 

Sebuah perangkat kebersihan rumah tangga: vacuum cleaner. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Lukas ter Poorten)
Sebuah perangkat kebersihan rumah tangga: vacuum cleaner. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Lukas ter Poorten)

Padahal kalau lebih bijak kita cermati, profesi ini tetaplah menggunakan prinsip mutualisme di dalamnya baik bagi majikan (yang memperkerjakan) dan bagi mereka (yang memenuhi tanggung jawab akan pekerjaan itu) sendiri.

Tapi, pada kenyataannya?

Andai kita mau jujur pada diri sendiri, apa yang mereka kerjakan adalah membantu, bukan malah tanggung jawab itu sepenuhnya diserahkan pada mereka. Mereka adalah—hanya—asisten, yang memperkerjakan lah kepalanya. 

Pandanglah dengan setara apa yang menyangkut tentang mereka: tentang hak-hak mereka sebagai pekerja atau hak-hak mereka sebagai manusia yang merdeka. 

Ya, begitulah seyogyanya. Mungkin jika itu dilakukan lebih banyak dan lebih sering oleh para tuan dan nyonya—oleh kita—, mungkin kelak dunia lebih indah dari kacamata mereka.

May Day yang tiap tanggal 1 Mei bagi kita diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, bagi mereka tak perlu diteriakkan dengan barbar.

Ah, ternyata benar apa kata orangtua, jika mereka memang punya cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayang. Buktinya didikan masa kecil yang saya terima—terutama dari almarhumah mama—membuat saya lebih cakap dalam urusan domestik rumah tangga. Itu modal besar yang layak—telah—dipertaruhkan hingga saat ini.

Tabik.

Catatan:

Salam hormat saya untuk kalian, Bapak Ibu, Mas, atau Mbak yang berprofesi sebagai Asisten Rumah Tangga atau sejenisnya. Tak ada yang membedakan kita (saya dengan kalian atau siapapun yang membaca tulisan ini) di mata dedikasi dan pengabdian dalam bekerja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun