Saya berani berkata bahwa hidup kita—seiringnya bertambahnya usia—lebih banyak diatur oleh anggapan orang: "apa kata orang".
Kita tidak seperti anak-anak dengan kepolosan hati mereka; kita kalah jauh dari mereka.
Ada alasan istimewa mengapa saya menyukai anak-anak. Bagi saya, mereka adalah potret nyata betapa apa yang dilakukan ya dilakukan saja dulu. Menangis ya menangis saja. Marah ya marah saja. Sedih ya sedih saja. Pun tertawa ya tertawa saja.Â
Singkat kata: Mereka tidak peduli "apa kata orang".
Semuanya mereka lakukan—dan mereka rasakan—dengan "secukupnya". Boleh jadi mereka merasakannya dalam bilangan menit—atau jam, setelah itu sudah. Mereka tidak memendamnya berhari-hari.  Mereka melenggang tanpa beban—tanpa tekanan.Â
Orang-orang dewasa lah yang menjadikan mereka berbeda pada akhirnya.
Orang dewasa?Â
Ya, itu benar!
Adalah kita yang merasa dewasa ini yang melakukan itu. Kita yang merasa sok—paling—tahu apa yang terbaik; kita yang merasa paling punya banyak pengalaman dalam hidup yang akhirnya mengubah mereka.
Namun, di sisi yang berbeda, saya berani mengatakan kita adalah manusia dewasa yang acapkali gagal mengelola rasa marah, sedih dan kecewa—atau dengan kata lain, kita manusia dewasa ini lah yang sebenarnya sedang dan selalu berjuang "memintal" kebahagiaan—bukan mereka.
Memintal kebahagian?Â
Ya, tepat sekali.