Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suami-able dari Kacamata Seorang Feminis

19 Maret 2021   07:30 Diperbarui: 2 April 2021   12:15 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk perempuan yang kebal dengan pertanyaan "kapan nikah?" dari orang yang—dengan serius atau sekadar iseng—bertanya pada saya. Ssstttt...bagi saya pernikahan adalah urusan yang super-duper penting dengan label serius pake "banget". Saya tidak mau salah menjatuhkan "pilihan" sekalipun saya sudah punya calon pasangan. 

(Hmm...semoga calon pasangan saya tidak merasa baper setelah membaca tulisan saya ini. Krik...krik...)

Sebagai perempuan dengan segala kehati-hatiannya, saya selalu tak henti-hentinya melakukan screening dalam hal apapun menyangkut persoalan menikah dan pernikahan (beserta dengan segala hal yang termasuk di dalamnya) di tiap ada kesempatan. 

Apalagi jika itu dibenturkan dengan paham feminisme yang beberapa tahun ini pelan-pelan saya pelajari.

Kita sudah tahu bersama feminisme adalah paham yang lebih banyak berbicara soal kesetaraan gender; tentang bagaimana segala hal dalam lini kehidupan harus dipandang adil dan tidak berat sebelah, baik di ranah privat ataupun di ranah publik—dan pernikahan berbicara (serta menitikberatkan) ragam persoalan di ranah privat dalam bentuk sebuah keluarga.

"Memacari" seorang laki-laki seumur hidup dalam sebuah ikatan pernikahan buat seorang feminis seperti saya gampang-gampang susah. Letak masalahnya ada di-mix and match yang seringkali susah dicocokkan. 

Butuh lebih banyak kompromi dan negosiasi sebelum pernikahan terwujud. Diperlukan lebih banyak obrolan seputar "batasan-batasan" di antara dua individu beserta solusi apa yang bisa diambil untuk mengatasinya.

Tapi, dari sekian banyak kriteria (dalam cakupan luas terhadap apa yang diperjuangkan oleh para feminis) dalam sebuah pernikahan, saya mencoba merangkumnya dalam tiga kriteria dasar laki-laki yang suami-able banget seperti berikut:

#1 Suami-able dari segi finansial.

Salah satu alasan laki-laki berpikir dengan matang (kalau tidak mau dikatakan beribu-ribu kali) sebelum memutuskan menikah adalah faktor finansial pasca menikah. 

Pemahaman—harus menjadi—"tulang punggung" atau "pejuang nafkah" yang diterima laki-laki lah (karena telah menjadi tradisi dari pemahaman yang salah kaprah) yang menjadi alasan terberat mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun