Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harga Diri Laki-Laki Bukan Bekerja

10 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 10 Maret 2021   07:17 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Men in Gray (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Sahin Sezer Dincer)

Begitu pula dengan ungkapan "harga diri laki-laki adalah bekerja" ini.

Bagaimana tidak? Ungkapan itulah yang pada akhirnya akan memupuk ego laki-laki dikemudian hari dan menjadi cikal-bikal bibit insecure dalam diri mereka.

Lihat sendiri, bisa sama-sama kita saksikan tentang bagaimana seorang laki-laki yang mati-matian menunaikan tugas dalam pemenuhan tanggung jawab atas "peran" yang mereka terima sejak nalar mereka baru mulai bekerja dengan baik. 

Bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadikan ini "syarat" dengan meminta pasangannya untuk berhenti bekerja pasca hari-h pernikahan, apabila pasangannya sebelum menikah adalah seorang perempuan pekerja. 

Suami-suami model ini biasanya akan dengan keukeuh meminta pasangannya menjalankan perannya sebagai isteri yang melayani suami dengan mengurus rumah dan menjaga anak-anak. Padahal jelas-jelas hal-hal itu tak pernah ada dalam aturan-aturan agama melainkan tradisi yang dilanggengkan dalam sistem budaya patriarki. 

Mereka berdalih yang wajib menafkahi, wajib menjadi tulang punggung, wajib memenuhi segala kebutuhan dan wajib-wajib lainnya adalah laki-laki; adalah suami. 

Demi memenuhi tanggung jawab—dan demi menjaga harga diri agar tak lecet—para laki-laki mencari cara untuk total dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Berangkat pagi pulang sore—demi bekerja. Apabila penghasilan dirasa kurang cukup, mereka akan memutar otak lagi untuk mencari tambahan. Hingga tak jarang berakhir dengan marah-marah karena kelelahan fisik akibat bekerja.

Laki-laki yang tengah bekerja. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Guilherme Cunha)
Laki-laki yang tengah bekerja. (Sumber Unsplash.com/Foto oleh Guilherme Cunha)

Imbasnya siapa? Tentu saja pasangan (baca: perempuan) dan anak-anak yang ada dalam keluarga itu.

Namun, perlu saya tekankan, saya tak mengatakan semua laki-laki begitu, tak semua laki-laki doyan marah-marah sekalipun mereka mumet dan lelah akibat bekerja. 

Saya masih percaya, di luar sana masih banyak laki-laki sadar akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dalam keluarga dengan bekerja benar-benar ikhlas dari hati dan pikiran jernih—meskipun boleh jadi memang diawali dengan beban mental yang mereka terima, seperti yang katakan di awal sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun