Versi saya sedikit berlebihan sih, menikmati cinta sama dengan membangun terbentuknya hormon-hormon bahagia dalam tubuh manusia: dopamin, serotonin, oksitoksin dan endorfin.
Cinta membuat segalanya indah. Ia berbicara perihal seseorang yang nangkring di kepala. Ia tak lelah bermain-main. Segala tentangnya menyita perhatian. Segala tentangnya membuat kita rela membuang-buang waktu meski kita tolak untuk dianggap "sia-sia".
Ya, begitulah cinta.
Tapi, ada satu hal yang sering dilupakan orang sebelum memutuskan menikmati cinta—dan membangun hubungan itu sendiri.
Apa itu?
Manusia sering alpa bahwa dalam menikmati cinta dan membangun hubungan, happy dan unhappy adalah bagian yang tak terpisahkan; manusia seringkali tidak siap merasakan sedih atau kecewa jika cinta itu tak sesuai harapan atau di lain kisah sebutlah dengan lantang: patah hati.
Manusia sering terlihat bodoh di sini!
Itulah cinta, kadang-kadang tak ada logika kalau kata Agnes Mo—dan menyoal cinta agak aneh kalau menyinggung etika.
Memang etika macam apa yang harus diminta jika si pelaku ghosting sudah raib dari peredaran?  Memang etika macam apa yang harus dipertanggungjawabkan jika si pelaku ghosting memilih untuk tidak menghiraukan—alih-alih peduli?
Bagimu mungkin kamu mengalami kerugian. Baginya belum tentu. Boro-boro merasa rugi, ngerasa bersalah aja ngga. Limit pikir dalam kepalamu tidak bisa sekonyong-konyong mendapat tempat dalam kepala si pelaku ghosting. Maaf jika saya terlalu keras dalam hal ini.
Kamu tidak bisa, kawan. Kamu tidak bisa mengontrol isi kepala—dan hati—seseorang. Isi kepala—dan hati—bisa berubah; dia bisa berubah.
Tapi, kita bisa mengontrol isi kepala—dan hati—kita!
Caranya?