Mohon tunggu...
Kay Solomon
Kay Solomon Mohon Tunggu... -

tidak LULUS dari 3 Universitas yang Berbeda dengan Predikat Cuma Lungguh (cuma duduk2 saja). \r\nWebsite : www.og-investmentindonesia.com\r\nBlog : www.meta-news-id.blogspot.com\r\nToko : http://jeans-ji.com\r\n\r\nNews Bio : Baru-baru ini baru saja mendapatkan kiriman mobil FREED dari seorang janda kaya negeri antah berantah setelah sebulan sebelumnya aku dideportasi dari negeri tersebut karena tampangku yang aduhai. Kejadian ini membuatku sadar, ternyata jaman sekarang dengan JUALAN tampang aku bukan hanya bisa hidup tapi juga bisa hidup makmur. Mantappp!! hidup orang ganteng!!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Chapter 6 : Di Tepian Sungai

31 Mei 2013   13:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tempat dan jalan di Karawang mempunyai cerita yang berbeda bagiku, tetapi dengan obyek yang sama. Hampir semua jalan di Karawang, dari ujung timur hingga ujung barat, dari selatan hingga utara pernah kami lalui. Bahkan hingga Purwakarta. Di kebun teh, kami berdua pernah kehujanan, berteduh di sebuah rumah kosong di tengah-tengah kebun dan menunggu sampai magrib tiba gara-gara hujan tidak kunjung reda. Seperti di sebuah film cinta yang mengharu-biru. Apa yang kami rasakan saat itu sulit untuk dilupakan. Kami berdekatan dan bebas. Tak seorangpun mengenal kami di daerah itu. Untuk pertama kalinya kami merasa bisa mengungkapkan apa yang yang ada di hati tanpa merasa takut atau khawatir di alam bebas.

Semenjak itu tak pernah satu malampun yang terlewat tanpa aku mengirimnya puisi-puisi cinta. Entah karena terbawa emosi oleh kata-kata dalam puisiku sendiri (awalnya aku membuatnya tidak dilandasi dengan perasaan yang sesungguhnya, tapi karena aku memang berbakat membuat puisi), atau karena merasa kebaikannya yang begitu besar hingga akhirnya aku benar-benar jatuh cinta.

Setiap kata yang kukirimkan melalui sms menjadi bernyawa, seakan aku mendekapnya saat dia tidur. Bait demi bait membiusnya, menyentuhnya, membuatnya melayang dan sempurna. Berakhir dengan lenguhan nyaman.

Dia bilang akan mengumpulkan puisi-puisi itu dan membukukannya. Kelak siapa tahu ada penerbit yang mau mencetaknya. Aku tertawa mendengar ide gila itu. Tapi aku tahu dia bersungguh-sungguh. Dalam hati aku tidak yakin.

Kamu pria yang romantis sekaligus pria paling gombal di dunia. Katanya suatu kali.

Dan itu harus diumumkan ke seluruh Indonesia. Kumpulan puisiku akan menjadi bukti otentik tentang bagaimana romantisnya dan gombalnya seorang Burhanudin.

Tak mengapa. Asal punya nilai jual dan aku dapat royalty, jawabku waktu dia berbicara tentang ide aneh itu.

Kami sama-sama tertawa. Kucium pipinya dan dia menghindar nakal.

Kita beli rumah di tengah-tengah kebun teh itu. Mungkin aku bisa berhenti mengajar. Kamu bisa mengunjungiku kapan saja. Dan cerita selanjutnya kamu pasti bisa melanjutkan, kataku lagi.

"Lalu kapan kamu kawin?" Tanyanya bernada setengah heran dan setengah bercanda.

"Setelah kamu bercerai barangkali."

Dia cuma tersenyum mendengar jawabanku itu.

Hari itu kami pergi ke pantai. Ini kali kedua kami ke pantai itu. Kebetulan saat pertama kalinya adalah saat pertama kali kami berjalan-jalan bersama. Saat itu dia ingin ditemani. Perasaannya sedang kalut dan masalah bercampur aduk. Sulit diuraikan. Dia butuh teman bicara.

Awalnya dia kelihatan setegar tugu perjuangan, bercerita tentang masalahnya dengan wajah tanpa emosi. Lama-lama, sisi kewanitaannya muncul juga. Dia menangis. Beban hidupnya yang demikian berat membuatnya frustasi. Apalagi semuanya harus dia hadapi sendiri, dia simpan sendiri. Suaminya tak pernah bisa diajak berdiskusi tentang kesulitan-kesulitan yang dia hadapi. Padahal sebagian besar masalah itu justru datang dari suaminya. Berkali-kali dia mencoba untuk mengajak suaminya bicara, tapi yang muncul justru emosi yang meluap-luap hingga kedua-duanya sama-sama membanting barang apapun yang dapat dijangkau oleh mereka.

Cerita-cerita kesedihan dan masalah yang silih berganti tak pernah habis darinya. Hingga pada akhirnya aku kehabisan kata-kata untuk sekedar menghiburnya. Mungkin aku butuh buku kumpulan kata-kata pelipur lara saat itu. Kemudian tanpa tahu bagaimana awalnya, bahuku mampu menjadi tempat yang nyaman buatnya untuk menyandarkan kepala. Lebih powerful dari ribuan nasehat yang kamu berikan, katanya. Dan itu terjadi begitu saja. Aku tak pernah menyadari bagaimana prosesnya.

Pun saat bahuku menjadi barang usang buatnya, aku seakan terbius untuk tak sekedar memberikan bahuku. Yang lelah bukan hanya kepalanya, namun badannya, kakinya, tangannya dan semuanya.

Aku ingat saat pertama kali itu terjadi.

Di tepi sungai.

Cuma sesaat dan aku langsung terkulai.

Dan kami sama-sama tahu, besok kami akan mencobanya lagi.

Kepaaraaaat!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun