Mohon tunggu...
Karen Jessica Siahaan
Karen Jessica Siahaan Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa -

Tulisan sederhana dari seorang murid yang masih (baru) belajar, semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Remaja Tulen versus ‘Remaja’ Medsos

8 April 2016   07:45 Diperbarui: 8 April 2016   09:53 2577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="forum.detik.com/penting-yuk-kampanyekan-internet-sehat-t1076442.html"][/caption]Sebal dan kesal. Itulah reaksi spontan kita atas aksi sejumlah siswa –siswi yang melakukan konvoi di jalanan bertema ‘selebrasi Ujian Nasional’. Terlebih lagi, kita sebagai netizen makin panas ketika membaca berita tentang seorang siswi di Medan yang marah-marah sambil menunjuk-nunjuk secara tidak sopan kepada polisi yang hendak menilang, bahkan ia mengaku-ngaku sebagai seorang anak pejabat. (Turns out that he’s her far relatives).

Kasus gadis ini memang sangat disayangkan, tapi bila kita ingin objektif, tidak perlu terlalu ‘dihebohkan’, karena hal-hal seperti ini masih dikategorikan sebagai kenakalan remaja.

Kenapa tidak perlu digembar-gemborkan? Karena, kenakalan remaja atau juvenile delinquency belum dapat dikategorikan sebagai kriminalitas. Remaja masih berada dalam tahap peralihan menuju kedewasan; sulit bagi remaja untuk melihat sesuatu secara objektif dan etis. Remaja masih dalam bayang-bayang rasio yang dikendalikan secara besar-besaran olehdesire (hasrat) dan emosi yang, ah, anda tahulah.

Namun dari sisi lain, saya melihat bahwa kita semua, sebagai seorang netizen, juga masih terhitung sebagai ‘remaja tanggung’ dalam dunia maya. Ya, kalau mau dihitung-hitung, kita sebenarnya baru kenal dan memakai internet secara optimal sekitar belasan tahun yang lalu. Apalagi, soal media sosial seperti Facebook. Banyak dari kita baru membuat akun Facebook sektiar 3-5 tahun yang lalu, bahkan mungkin anak-anak remaja seperti saya sudah punya akun Facebook duluan (dan sudah bosan memakainya) dibanding orangtuanya. Jadi, kita semua masih terhitung remaja dalam penggunaan internet, bukan?

Nah, seperti yang saya katakan tadi, sifat ‘keremaja-remajaan’ itu masih membuat orang-orang terhipnotis pada dunianya sendiri, sehingga kita cenderung kekurangan sikap empati dan juga seringkali kurang memahami konsekuensi perkataan serta perbuatan yang kita lakukan.

Sama seperti si gadis yang tidak berpikir akan perasaan polisi yang dia lawan dan akan dampak dari perkataannya yang tiba-tiba menjadi begitu viral, kita juga seringkali tidak peka akan perasaan orang lain yang kita komentari di Internet dan kita tidak memikirkan akan konsekuensi yang akan terjadi setelah komentar itu ter-publish, baik bagi kita, bagi objek komentar kita, atau bahkan baginetizen lain dan masyarakat secara luas.

Kurangnya Empati dan Kepekaan Sosial = Bencana

Sore hari tanggal 7 April 2016, dikabarkan bahwa bapak si gadis ini meninggal. Orang bilang kemungkinan besar karena terpukul oleh rasa malu yang amat sangat karena tindakan anaknya yang tidak sepantasnya. Tapi saya percaya bukan hanya itu.

Ia pasti paling terpukul atas respon dan tanggapan masyarakat dan media yang begitu heboh akan permasalahan ini. Bahkan seramnya, banyak orang yang menunggangi kasus ini dengan kepentingan mereka masing-masing. Baik yang awalnya karena ingin membuktikan superioritas, ingin dilihat lebih benar didepan orang banyak lewat cara merendahkan orang lain secara semena-mena di komentar Facebook, atau memfollow akun Instagram si gadis ini hanya untuk menghinanya secara sadis (atau bahasa objektifnya, ‘berlebihan’).

Baik itu media yang suka menggembar-gemborkan masalah yang relatif ‘kecil’, dibanding korupsinya pejabat, atau konglomerat yang main suap.

Atau, bahkan ada yang sekarang jualan kaos berdasarkan kata-kata umpatan si gadis itu.  

Satu hal yang sangat ingin saya tanyakan, untuk mengembalikan rasa ‘kemanusiaan’ kita, yaitu,”Gimana sih, bila kita menjadi dia? Apa yang akan kita rasakan?”

Dia dijamin sangat stres dan terpukul, apalagi sampai Ayah yang ia kasihi meninggal dunia. Saya tidak bermaksud membenarkan perbuatan yang dia lakukan, sebab yang dia lakukan itu tidak benar, karena secara hukum, dia melawan lembaga yang berotoritas, dan secara moral ia melawan orang yang lebih tua. Namun saya ingin mengajak kita berpikir secara objektif, bahwa, bila kita mau jujur, dia hanyalah salah satu pelaku (atau bisa kita katakan korban) diantara ribuan orang lainnya.

Diantara ribuan siswa-siswi yang corat-coret dan konvoi, dia hanya salah satunya. Dia hanyalah salah satu orang yang tersorot menggunakan kata ‘beking’ dan memakai nama orang penting untuk menaikkan harga dirinya.

Terlalu banyak, terlalu banyak orang yang seperti itu diluar sana. Mungkin kita, yang turut mengomentari dia atas perbuatannya itu, pernah atau bahkan sering melakukan hal yang sama esensinya, tapi dalam versi yang berbeda. Kebetulan aja dia sedang ‘apes’ karena kasusnya ini tertangkap media dan langsung disebarluaskan, bahkan masuk LINE News Digest, yaitu fitur Media Sosial LINE yang memuat Headline berita, yang secara jelas langsung meraup perhatian jutaan pengguna medsos ini, yang notabene mayoritasnya adalah anak muda juga.

Karena Kultur, Kebiasaan Lingkungan, dan Sentimen Masyarakat ‘Turut Andil’

Bila kita ingin menyalahkan si gadis ‘malang’ dari Medan itu, kita tidak boleh melepas peristiwa yang terjadi dari konteks kultural dan kebiasaan setempat, dalam hal ini, Kota Medan.

Saya pernah tinggal di Medan, dan selama saya disana, saya familiar sekali dengan kata ‘Beking’. Kultur ‘Beking’ itu sangat kental adanya di kota kelahiran saya itu. Sudah sangat lumrah orang menggunakan nama orang yang berpengaruh yang masih merupakan keluarga atau kerabatnya demi menaikkan harga dirinya atau membela diri.

Mulai dari anggar kehebatan nama bapak di sekolah, sampai ancaman saat minta potongan harga saat proses jual-beli, atau bahkan saat melamar pekerjaan. Dan bila semua teman-teman saya di ibukota geger dan geleng kepala karena perkataan si gadis ini, saya cukup prihatin dan sedih ketika saya menyadari bahwa hal ini sudah menjadi hal yang biasa bila dikaitkan dengan Kota Kuliner tersebut.

Kultur ‘Beking’ yang sangat kita benci itu sudah dapat dikategorikan sebagai salah satu penyebab penyimpangan sosial di Ibukota Sumatra Utara, dan banyak tempat-tempat lainnya, yaitu kategori penyebab penyimpangan sosial karena “subkebudayaan meyimpang”.

Subkebudayaan menyimpang adalah ketika kita sudah menjadi terbiasa akan suatu hal, atau bahkan tindakan, yang sebenarnya sudah menyalahi norma dan nilai umum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena kelompok-kelompok didalam masyarakat menggaungkan dan melakukan hal itu secara terus-menerus, sampai-sampai kita merasa terbiasa dan bahkan kurang peka karena hal itu sudah kita lihat dan kita alami sehari-hari.

Kasus ini saya percaya ‘cuma’ merupakan satu kejadian dari jutaan kejadian terselubung yang serupa yang tak terekspos media.

Belum lagi kebiasaan yang ditanamkan di lingkungan. Sudah bukan rahasia lagi kalau orangtua atau kerabat yang memiliki jabatan pada kelompok profesi tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, cenderung mengingatkan anak-anak mereka dengan kalimat yang kurang lebih terdengar seperti ini “Nak, kalau ada yang berani ganggu-ganggu kau, bilang kau itu anak ________ (sebutkan nama orang penting) yang dari _______ (sebutkan nama jabatan), supaya orang itu jangan cari masalah sama kau” Awalnya hal ini disampaikan dalam artian defensif, yaitu, secara simpel, biar anaknya tidak diganggu-ganggu orang. Tapi, namanya kurang dewasa, terkadang priviledge kerap disalahartikan sebagai akses kepada kesewenang-wenangan. Akhirnya, keadaan bahaya atau ‘gangguan’ yang disebut orangtuanya tadi jadi dapat diinterpretasi secara unlimited, bahkan ketika sebenarnya si anak melakukan kesalahan, diucapkanlah nama Beking itu sebagai ‘tameng sakti’.

Saya menuliskan ini karena saya sangat menyayangkan hal yang gadis itu lakukan. Saya juga adalah seorang siswi yang sedang bersukacita, sebab pada hari yang sama saya juga telah menyelesaikan Ujian Nasional SMA saya. Namun yang paling saya sayangkan bukanlah saat si gadis menyebut-nyebut nama ‘beking’ dalam membela dirinya (yang pada akhirnya menjadi viral), karena bukan itu sumber masalah dan masalah utama. Justru sumber masalahnya, adalah keputusan kecilnya ketika dia memilih untuk ikut konvoi, untuk coret baju.

Saya juga seorang remaja yang sedang bereuforia, namun dalam kesadaran, saya memilih untuk tidak corat-coret baju dan konvoi. Sekarang, saya baru sadar bahwa keputusan kecil yang saya ambil ini dapat berujung begitu positif dan menghindarkan saya dari banyak hal yang tidak perlu. Kasus gadis asal Medan itu, dan kasus anak yang meninggal karena tenggelam karena selebrasi dan selfie, membuat saya sadar dan belajar akan pentingnya pengendalian diri.

Baik remaja asli, maupun ‘remaja-remaja’ medsos, harus mengutamakan pengendalian dan kesadaran diri, untuk menghidarkan diri dari penyesalan dan rasa malu.

Walaupun saya belum layak (karena seolah kata-kata saya ini menggurui), namun kedewasaan dan kontemplasi adalah kunci menjadi pribadi yang berintegritas, baik dalam dunia nyata, maupun dalam dunia maya.

Kedewasaan adalah ‘rem’ kita dalam pengendalian diri, dan kontemplasi, memberi kita ruang untuk ‘menyadarkan diri’. Tidak perlu bermeditasi berjam-jam, cukup dengan memikirkan pertanyaan-pertanyaan simpel yang menolong kita dalam tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, ketika kita membuat komentar di Internet, kita perlu bertanya pada diri kita, Apakah itu perlu ditulis? Apakah komentar/kritik/saran kita berguna dan membangun?

Kiranya kita boleh semakin ‘dewasa’ dalam ber-internet ria.

Jadi, kapan nih, kita mulai turut serta menjadi ‘dewasa-dewasa muda’ dalam dunia maya? Saya tidak sabar menunggu hari dimana para netizen lebih banyak berempati ketimbang mencaci-maki. Saya percaya kita dapat memulainya hari ini.

Dengan segala hormat,

Dari seorang gadis yang masih kurang pengalaman,

Karen Jessica Siahaan

 

Sumber Ilmiah :

Dari textbook Sosiologi SMA, dan catatan pengajaran dari guru-guru yang penuh pengabdian, secara khusus pengetahuan dari kelas Bapak Sabar Sitohang, yang membahas materi Juvenile Delinquency secara komprehensif yang saya pernah ikuti ketika saya masih menjadi siswi di SMA Katolik Santo Thomas 1 Medan, dan guru sosiologi saya saat ini, Ibu Susi dan Ibu Kristina yang mengajak saya untuk terus berpikir kritis menanggapi fenomena sosial yang sedang terjadi.

Sumber Berita: satu, dua  

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun