Mohon tunggu...
Kayla Tiara Putri Azzahra
Kayla Tiara Putri Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Suka deep talk, petrikor, dan mempelajari hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Laki-laki Bisa Jadi Korban: Analisis Kasus Heard dan Depp Melalui Pendekatan Feminisme

16 Juni 2022   11:55 Diperbarui: 19 Juni 2022   00:51 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu terakhir, dunia dihebohkan dengan kasus Johnny Depp dan Amber Heard, pasangan yang memutuskan untuk berpisah setahun setelah mereka menikah pada Februari 2015. Tiga tahun berselang Amber Heard menulis sebuah op-ed yang dipublikasikan oleh The Washington Post mengenai kekerasan rumah tangga. Setelah tulisan tersebut dipublikasikan, Depp dinilai menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang dibahas dalam tulisan tersebut. Pihak Depp menganggap bahwa Heard telah menjadi pelaku pencemaran nama baik. Beberapa proyek film dan iklan yang bekerja sama dengan Depp terpaksa dihentikan karena dugaan kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh Deep terhadap Heard. Atas kerugian yang dialami oleh Depp tersebut, ia pun menuntut ganti rugi sebesar $50 juta dari Heard. Sejak April 2022, sidang kasus ini terus dilakukan hingga pada 1 Juni, Juri memenangkan gugatan Depp atas Heard dalam kasus pencemaran nama baik dan membuat Depp mendapatkan ganti rugi sebesar $15 juta (Independent, 2022).

Kasus Depp dan Heard ini menarik dibahas karena Depp memberikan testimoninya bahwa ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi tersebut mematahkan argumen bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Pada dasarnya kekerasan dapat terjadi tanpa mengenal gender, sehingga baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korbannya. Jika dianalisis melalui teori feminisme, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Depp adalah bentuk ketimpangan relasi. Dominansi oleh pelaku atas korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tidak mengenal gender. Selama ada ketimpangan gender dalam relasi pernikahan, kekerasan dapat menimpa siapapun ketika terjadi pemukulan, pemaksaan, dan pengendalian fisik, psikis, dan emosional (Nancy, 2008).

Selama ini narasi mengenai perempuan sebagai korban KDRT kerap digaungkan karena kepercayaan kultural bahwa perempuan secara kodrat memiliki kewajiban dalam menjaga. Implikasi yang dirasakan adalah bagaimana perempuan menerima segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Namun, narasi ini belum menjawab kenaikan tren laki-laki sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, 10% pengaduan KDRT adalah laki-laki (Komnas Perempuan, 2021).

Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban 

Bentuk-bentuk KDRT berupa pemukulan, pemaksaan, dan pengendalian fisik, psikis, dan emosional telah dialami oleh Depp. Dalam penuturannya di pengadilan, Depp menjelaskan bahwa ia menerima kekerasan fisik lewat pukulan dan lemparan barang seperti botol minuman keras. Heard juga kerap memberikan kekerasan berbentuk psikis dengan mendoktrin Depp bahwa ia adalah orang tua yang buruk. Efek yang ditimbulkan dari berbagai bentuk KDRT tersebut menyisakan trauma, paranoid, kecemasan,  dan rasa sakit baik fisik dan psikis juga membekas sampai saat ini bagi Depp (Independent, 2022).

Bukti konkret yang diberikan oleh Depp di pengadilan masih belum cukup kuat untuk menggalang suara di masyarakat. Pada awal gugatan, dukungan untuk Heard terus bergulir. Bahkan GoFundMe berhasil memperoleh donasi sebesar Rp 14 miliar untuk mendukung Heard di pengadilan (Independent, 2022). Walaupun seiring berjalannya waktu, dukungan untuk Depp lebih besar, tetapi kondisi ini menunjukan bahwa kekerasan domestik terhadap laki-laki masih dianggap tabu. Respon ini berbeda ketika perempuan diberitakan menjadi korban KDRT.

Lebih jauh, naiknya tren pria sebagai korban KDRT sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai maskulinitas yang dikembangkan di masyarakat. Nilai maskulinitas yang menganggap bahwa laki-laki adalah “pahlawan” membuat mereka merasa tidak perlu membela diri ketika kekerasan tersebut terjadi. Atribut, perilaku, dan peran laki-laki di masyarakat menempatkan mereka untuk senantiasa dapat diandalkan, harus superior dibandingkan perempuan, tidak boleh menunjukan perasaan seperti rasa sedih, dan sederet toxic masculinity lainnya.

Ciptakan Maskulinitas yang Sehat untuk Berantas KDRT

Setelah mempelajari bahwa laki-laki juga bisa jadi korban, di satu sisi, laki-laki juga berisiko lebih besar untuk menjadi pelaku. Akar dari kedua permasalahan tersebut adalah toxic masculinity yang terus dipelihara dalam masyarakat. Oleh karena itu, belajar dari kasus Depp, masyarakat perlu untuk merekonstruksi makna maskulinitas tersebut. Budaya patriarki dan norma sosial menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan dan superior. Hal inilah yang menyebabkan banyak laki-laki seolah-olah menjadi pelaku KDRT, sedangkan di sisi lain menempatkan laki-laki sebagai korban KDRT adalah hal yang tabu.

Konsep victim blaming yang dibenarkan oleh masyarakat dalam melihat korban kekerasan dan pelecehan pada laki-laki korban KDRT seperti yang ditemukan pada kasus Depp di mana masyarakat menilai Depp berbohong hingga memanipulasi Heard menjadi bentuk ketidaksetaraan gender akibat budaya patriarki yang telah menguasai dan membelenggu cara berpikir dan bertindak. Cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir fenomena tersebut adalah dengan mengakomodasi tiap laporan yang berkaitan dengan kasus KDRT. Maskulinitas yang sehat dapat dilakukan dengan pembagian peran yang adil antara perempuan dan laki-laki, terutama dalam konteks rumah tangga.

Referensi:

Independent. (2022). Johnny Depp and Amber Heard: A timeline of their relationship, allegations, and court battles. Diakses dari laman https://www.independent.co.uk/ news/world/americas/ johnny-depp-amber-heard- trial-relationship-timeline-b2092124.html (Diakses pada 5 Juni 2022).

Komnas Perempuan. (2021). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Komnas Perempuan

Nancy E. Dowd. (2008). Masculinities and Feminist Legal Theory, Gender & Soc'y 201.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun