Mohon tunggu...
Kayla ShafiraKandinny
Kayla ShafiraKandinny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Teknik Kelautan 2023 Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Ring of Fire: Gerakan Bumi Membentuk Lanskap

6 April 2024   09:34 Diperbarui: 6 April 2024   09:56 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia termasuk negara yang terletak di wilayah sangat aktif secara geologis, terutama dalam konteks tektonik lempeng. Tektonik lempeng sendiri terbentuk karena pergerakan di bawah permukaan bumi. Kondisi ini menarik perhatian ilmuwan dari seluruh dunia karena dapat memberikan peluang untuk meneliti dan memahami lebih mendalam mengenai proses-proses geologi yang terjadi di Indonesia. Letak geografisnya yang berada di wilayah ring of fire atau Cincin Api Pasifik, yakni pertemuan tiga lempeng tektonik Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang sering kali mengalami bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan tanah longsor.

Bencana alam merupakan peristiwa yang sulit diprediksi, meskipun teknologi saat ini telah berkembang pesat, manusia hanya dapat mengamati pola dan fenomena saat terjadinya bencana alam. Belum dapat diduga secara tepat kapan akan terjadi dan belum dapat diketahui tempat di mana akan terjadi. Oleh karena itu, manusia hanya dapat mengurangi dampak bencana alam dengan mengurangi dampaknya.

Cincin Api Pasifik sebenarnya bukan berbentuk lingkaran seperti yang kita bayangkan. Ia lebih mirip tapal kuda atau huruf "U" yang membentang sepanjang 40.000 kilometer. Fenomena ini juga merupakan hasil dari aktivitas lempeng tektonik. Lempeng tektonik merupakan bagian dari lempengan besar dari kerak bumi yang terpisah dan saling menyatu seperti potongan puzzle.

Perlu diketahui lempengan-lempengan tersebut tidak menetap, melainkan terus-menerus bergerak di atas lapisan batuan padat dan cair yang disebut sebagai mantel. Lempengan-lempengan tersebut dapat bergerak, menjauh, bergeser, atau bertabrakan satu sama lain. Ketika lempengan-lempengan tersebut bertabrakan, maka akan menimbulkan munculnya rangkaian gunung berapi.

Teori tektonik lempeng merupakan teori yang berkaitan erat dengan konsep pergerakan benua di bumi, teori tersebut dikembangkan untuk menjelaskan bukti pergerakan lempeng dalam skala besar yang dilakukan litosfer bumi. Teori tektonik lempeng dalam pembentukan benua dan samudra pertama kali dicetuskan oleh Alfred Wegener melalui bukunya yang berjudul The Origin of Continents and Ocean. Ia menyatakan bahwa berdasarkan data-data geologi, paleontologi dan klimatologi membuat hipotesa apungan benua (continental drift), menyatakan bahwa semua benua pernah bergabung menjadi satu dengan nama superkontinen pangea.

Sumber: spada.uns
Sumber: spada.uns

Teori tektonik lempeng didasarkan pada model sederhana dari bumi, yaitu litosfer dan rigid. Terdiri dari kerak benua dan samudra yang tersusun dari berbagai lempengan beragam ukuran. Kerak benua dan mantel atas memiliki ketebalan hingga 250 km, sedangkan kerak samudra dan mantel atas memiliki ketebalan hingga 100 km. Teori tektonik lempeng dapat menjelaskan hubungan antara proses terjadinya pembentukan pegunungan, gempa, dan vulkanisme.

Lempeng Tektonik yang Termasuk Bagian Cincin Api Pasifik

Pertemuan tiga lempeng yang disebabkan oleh zona subduksi merupakan proses geologi. Cincin Api Pasifik adalah wilayah yang dikenal dengan aktivitas vulkanik yang tinggi di sepanjang Samudra Pasisik. Ini merupakan salah satu zona subduksi terbesar di dunia. Di mana lempeng-lempeng tektonik bertemu dan saling berinteraksi, sehingga menciptakan banyak gunung berapi, gempa bumi, hingga palung laut yang dalam. Zona subduksi dapat terjadi baik antara dua lempeng benua atau antar dua lempeng samudra maupun lempeng benua dan samudra.

Masyarakat Indonesia khususnya yang berada di daerah dekat dengan cincin api pasifik, tentu telah merasakan berbagai macam dampak yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut. Mulai dari kehilangan tempar tinggal, pekerjaan, maupun anggota keluarga. Namun dampak tersebut dapat diminimalisir dengan adanya pelatihan bencana yang baik oleh badan terkait yang menangani permasalahan tersebut.

Seperti yang terjadi pada erupsi Merapi tahun 2010 lalu, merupakan peristiwa yang sangat signifikan. Tentu saja sangat membekas bagi warga Yogyakarta dan sekitarnya. Peristiwa ini menyebabkan 386 orang meninggal dunia, termasuk di dalamnya juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (Nadia. 2022). Erupsi gunung tersebut juga memuntahkan material-material yang ada di dalamnya dengan berbagai macam ukuran dan bentuk batuan panas. Gejala meletusnya Gunung Merapi telah muncul pada tahun 2009 yang ditandai dengan gempa vulkanik dan juga perubahan deformasi pada tubuh Gunung Merapi. Pada saat puncak Gunung Merapi Meletus, ia memuntahkan lava sehingga mengakibatkan gumpalan awan panas mencapai 15 kilometer. Pasca erupsi tahun 2010, terbentuk kawah yang membuka ke arah Tenggara/Selatan membawa implikasi pada ancaman erupsi ke depan akan lebih dominan ke arah Selatan (Kementererian ESDM. 2018)

Gempa bumi adalah peristiwa berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, aktivitas sesar (patahan), aktivitas gunung berapi atau runtuhan bangunan (BPBD Yogyakarta. 2019). Sehingga terjadi pelepasan energi yang cepat disebabkan oleh adanya pergeseran inti bumi. Hingga saat ini belum ada ahli dan instansi yang mampu memprediksi terjadinya gempa bumi. Instansi yang memiliki wewenang untuk memberitakan informasi terjadinya gempa bumi di Indonesia adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Pegerakan Konvergen

Lempeng merupakan lapisan penyusun bumi paling atas yang sebagian besar mempunyai ketebalan hingga 100 km (Valentina. 2023). Banyak aktivitas geologi utama di bumi terjadi pada batas lempeng (plate boundary) yaitu zona di mana lempeng tektonik bertemu dan berinteraksi. Lempeng yang berdekatan dapat bergerak dengan cara berbeda. Pada batas divergen (divergent boundary), dua lempeng saling menjauh dan terjadi pemisahan. Untuk batas konvergen (convergent boundary), dua lempeng saling berdekatan hingga bertemu. Pada batas transform (transform boundary), dua lempeng bergerak beririsan secara horizontal dan terjadi gesekan lateral antara lempeng-lempeng tersebut.

Terbentuknya zona subduksi ialah terjadi akibat terjadinya pergerakan konvergen. Konvergen adalah dua lempeng yang saling berdekatan, akibat perbedaan kepadatan salah satu lempeng akan tertancap kebawah dan masuk kedalam lempeng lainnya. Palung laut yang dalam biasanya berada pada zona subduksi, Di mana potongan lempeng yang menerobos mengandung banyak hidrat, sehingga kandungan hidrat ini dilepas saat pemanasan berlangsung yang tercampuri oleh mantel dan menyebabkan pencairan, sehingga dapat menimbulkan aktiivtas vulkanik.

Di batas konvergen, kerak benua terbentuk sementara kerak samudra terjepit, meleleh, dan berubah menjadi magma. Gerakan lempeng konvergen ini sering kali menghasilkan gempa bumi dan sering kali membentuk barisan gunung berapi.

Proses Subduksi

Arus konveksi yang terjadi di lapisan astenofer merupakan lapisan yang mirip dengan plastik di bawah litosfer. Proses ini melibatkan pemanasan, naiknya magma, pendinginan, dan tenggelamnya Kembali magma. Gerakan konveksi ini bertanggung jawab atas pergerakan atau gerakan lambat lempeng tektonik. Ketika lempeng tektonik bergerak menuju satu sama lain di batas konvergen, gaya pergerakan menciptakan zona subduksi karena perbedaan kepadatan lempeng dan gaya gravitasi. Lempeng yang lebih padat dan tipis disebut lempeng subduksi yang akan terus bergerak ke bawah lempeng yang kurang padat dan lebih tebal untuk menuju mantel dan akhirnya meleleh seiring berjalannya waktu.

Jika subduksi terjadi pada salah satu ujung lempeng tektonik, apa yang akan terjadi pada ujung lainnya? Pada batas lempeng tempat terjadi konvergensi, ujung lempeng yang berlawanan akan divergen atau menjauh dari lempeng lainnya. Di tempat pertemuan dua lempeng, magma dilepaskan secara perlahan melalui aktivitas vulkanik. Dengan singkatnya, batas divergen membentuk materi lempeng baru melalui pendinginan magma atau disebut sebagai kerak samudra baru, sedangkan batas konvergen akan menghancurkan tepi lempeng melalui subduksi.

Berdasarkan penelitian yang ada, terdapat beberapa konsep yang diyakini secara luas. Salah satunya adalah bahwa memulai zona subduksi yang dianggap sebagai hal yang sangat kompleks dan sulit, serta tidak dapat dengan mudah dijelaskan melalui pengamatan langsung. Selain itu, pengawalan subduksi juga tidak dapat diobservasi di sembarang tempat, terutama tanpa pengetahuan ahli tentang wilayah di mana subduksi mungkin terjadi.

Dampak dari subduksi yang dapat diamati adalah dapat terjadi karena adanya variasi usia lempeng pada zona subduksi, perbedaan kecepatan subduksi, dan keberadaan objek apung. Ini dapat menyebabkan perubahan sudut pada lempeng yang tersubduksi, pembentukan palung yang lebih dalam, erosi subduksi, dan perubahan aktivitas busur vulkanik.

Akibat Guncangan Di Sepanjang Zona Subduksi

Subduksi merupakan proses geologi yang terjadi ketika satu lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng tektonik lainnya. Baik antara dua lempeng benua, lempeng benua dan samudra, maupun dua lempeng samudra. Subduksi dapat menyebabkan terbentuknya zona subduksi yang dalam, peregangan kerak bumi di sepanjang zona subduksi, dan aktivitas vulkanik. Letusan gunung berapi dan gempa bumi sering terjadi di daerah-daerah yang terkait dengan proses subduksi.

Gunung berapi di Bumi terbentuk karena keraknya terpecah menjadi 17 lempeng tektonik utama yang kaku dan mengapung di atas lapisan mantel yang lebih panas dan lunak. Oleh karena itu, gunung berapi sering ditemukan di batas divergen dan konvergen lempeng tektonik.

Gempa bumi memiliki potensi untuk memicu letusan gunung berapi melalui pergerakan lempeng tektonik yang signifikan. Sebaliknya, letusan gunung berapi juga dapat memicu gempa bumi melalui pergerakan magma di dalam gunung berapi. Satu aspek penting dari hubungan antara gunung berapi dan gempa bumi adalah siklus timbal balik di mana gempa bumi dapat memicu letusan gunung berapi dan pergerakan magma dalam gunung berapi dapat memicu gempa bumi.

Gempa bumi dan letusan gunung berapi merupakan fenomena alam berbahaya yang menimbulkan risiko serius bagi manusia. Selain itu, tsunami juga merupakan dampak sekunder mematikan yang disebabkan oleh guncangan bawah air seperti gempa bumi dan juga aktivitas gunung berapi.

Berapa banyak kematian yang terjadi dan seberapa parah suatu bencana alam tergantung pada interaksi kita sebagai manusia dengan lingkungan sekitar. Gempa bumi yang kuat dapat diabaikan jika terjadi di Tengah daratan yang hamper tidak memiliki penduduknya.

Bagaimana jika gempa yang terjadi di wilayah yang ramai penduduk? Seperti gempa bumi yang dihasilkan oleh letusan Gunung Krakatau (1883). Jumlah korban tewas akibat erupsi dan tsunami dipastikan mencapai 36.417, tetapi beberapa peneliti memperkirakan korban tewas jauh lebih tinggi, yaitu 120.000 korban tewas (Stekom. 2024). Krakatau runtuh dalam letusan berantai, melenyapkan sebagian pulau disekelilingnya. Letusan itu mengeluarkan terlampau banyak gas sulfur dioksida (SO2) ke atmosfer khususnya stratosfer. Gas ini kemudian terbawa angin tingkat tinggi ke seluruh Bumi. Dampaknya adalah peningkatan global dalam konsentrasi asam sulfat (H2SO4) di awan cirrus tingkat tinggi.

Dilihat dari kondisi geografisnya yang merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik besar. Di sekitar lokasi pertemuan inilah terjadi akumulasi energi bertabrakan hingga sampai suatu titik lapisan Bumi tidak sanggup menahan tumpukan energi, sehingga energi tersebut akan dilepas dalam bentuk gempa bumi.

Kondisi seperti ini menjadikan kita dalam menghadapi ancaman bencana alam khususnya di wilayah Ring of Fire, diantaranya adalah pendekatan mitigasi yang holistik dan terkoordinasi sangatlah penting. Edukasi untuk masyarakat, sistem peringatan bencana alam, dan kerja sama internasional di bidang mitigasi bencana untuk meminimalkan kerugian manusia dan lingkungan.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang proses geologi berserta dampaknya, beserta upaya mitigasi yang terkoordinasi, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik lempeng di wilayah Cincin Api Pasifik.

Penulis : Kayla Shafira Kandinny

Mahasiswi Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun