Jleb!
Pisau yang dua hari  ia asah menebus lehernya. Berulang kali. Pyar!! Darah muncrat dari tenggorokan pria kurus berkaca-mata. Ia mengerang dalam beberapa saat. Setelah kakinya menghentak, ia pun terkulai. Mati!
Sejenak suasana hening. Hanya terdengar tarikan nafas sangat panjang dari pria paruh baya yang tangannya berlumur darah. Dendam dan kemarahanya seperti tersedot oleh nafas pria kurus yang sudah tidak bernyawa. Â Dendamku terbalas sudah, bisiknya.
"Mengapa anda membunuhnya? Tanya hakim. Matanya lurus ke pria berkaca mata yang duduk sebagai terdakwa. Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan jaksa tidak mengubah ketenangan duduknya. Â Ia tenang. Setenang saat menghujamkan pisau ke leher pria kurus yang belum terlalu ia kenalnya.
Apakah perlu saya menjelaskan kepada Bapak hakim mengapa saya membunuhnya? Tanyanya dengan ketenangan prima. Berapapun hukuman yang Bapak berikan kepada saya hingga hukuman mati sekalipun, saya akan menerimanya. Jika saya menerima semua jenis hukuman yang Bapak Hakim tetapkan mengapa saya hari memberi penjelasan?
"Tidak Bapak Hakim. Sekali lagi tidak. Biarkan hukuman yang saya berikan kepada pria itu sebagai bentuk saya menjaga harga diri dan kehormatan keluarga saya. Istri dan anak-anak saya. Pria yang tak pernah pantas untuk melakukan apapun kepada istri saya. Bagi saya hanya kematian yang pantas untuk perbuatannya. Untuk kejahatannya". Ada kemarahan yang tertahan. Ada dendam yang lama ia simpan.
Pria baik. Pria yang tak pernah marah. Namun jika tiba-tiba ia bertindak, maka srigala sesadis apapun tak kan mampu menandinginya. Hujaman pisau di bekas leher pria yang telah merusak keluarganya menunjukkan hujaman kemarahan yang luar biasa.
Ada jarak waktu antara kemarahan dengan hujaman yang cukup dalam. Hanya kilauan pisau yang bisa dipahami seberapa dalam tingkat kemarahan.
Pria baik yang tak pernah melakukan tindakan pidana. Ia berusaha menjaga kehormatan istrinya. Menjaga kehormatan keluarganya. Menjaga kehormatan wanita-wanita yang menjadi korban rayuannya.
Takkan ada hukum formal yang bisa memenuhi aspek keadilan dengan perbuatannya yang tidak hanya merusak keluarga baik-baik dan terhormat. Tetapi menghancur masa depan dan mimpi-mimpi indah keluarga yang dengan susah payah ia bangun.
"Saat aku menghujam pisau yang lama aku simpan, aku melihatnya pria kurus itu bak srigala. Ya, aku menghujam dan mencabik-cabik dengan pisau ini karena ia dalam pandanganku, dalam  dendamku, dalam kemarahanku, ia bukan manusia. Ia bukan ilmuwan. Ia  adalah srigala. Srigala yang telah memakan anak-istriku. Menghancurkan mimpi dan masa depan anak-anakku.
Tidakkah Pak Hakim merasakan. Â Saat aku pergi, mencari nafkah. Seminggu tak ada di rumah. Lalu pria bejat itu datang menawar janji. Â Saat istriku lengah, ia menerkam dan membunuhnya.
Pantaskah aku membiarkan ia berjalan tenang? Membiarkan srigala itu berkeliaran secara bebas mencari ibu yang sangat dinantikan kasih sayang oleh  anak-anaknya. Ia cabik dengan amat sadis. Lalu dengan sangat tragis ia memangsanya?
Hakim terdiam. Ada perasaan yang sangat dalam merasakan betapa pedihnya hati pria yang kini duduk sebagai terdakwa. Ia teringkat anak sulungnya yang kini entah kemana, lari ke kota lain karena membunuh pria yang merusak kehormatan keluarganya. Ia ingat, seakan anaknya hadir dalam persidangan ini.
Dan bahkan ia hadir dalam setiap sidang di mana kasus-kasus kehormatan ia tangani. Agak aneh, selama menjadi hakim, ia telah banyak membebaskan orang-orang yang melakukan tindakan pidana hingga kematian berdasarkan menjaga kehormatan keluarga.
Sebaliknya ia menghukum termasuk hukum gantung bagi terdakwa yang merusakan kehormatan wanita-wanita yang seharusnya dilindungi dan dihormati. Baginya, menjaga kehormatan keluarga menjadi hal yang utama demi terjaganya nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Jika pria-pria jalang dibiarkan merusakan kehormatan, merusak peradaban tak akan ada lagi hukum yang mampu menghentikannya kecuali kematian. Dan orang-orang yang menjaga kehormatan meski berujung pada kematian, ia adalah pahlawan. Pahlawan keluarga. Pahlawan peradaban.
Menjelang matahari terbenam, sidang dinyatakan selesai. Banyak orang yang merangkul pria yang tidak lagi menjadi terdakwa. Ia bebas. Julukan pahlawan yang ditujukan pada pria yang dikelilingi oleh para sanak-keluarganya, berkumandang!! Mereka menangis dan menari, tanda bahagia.
Hakim tua, disudut ruang lain, yang baru saja menyatakan pria itu tidak bersalah, meneteskan air mata. "Aku percaya engkau masih hidup anakku.. Â pun jika kau sudah mati aku melihat ruhmu ada di pria yang baru saja ayah bebaskan.. pria yang tak pernah padam menjaga kehormatan.. engkau anak baik.. ayah bangga.. Â pria yang seluruh rambutnya sudah memutih ini entah sudah berapa ratus kali melakukan ritual yang sama.
 Ia merasa anak sulungnya hadir saat ia membebaskan terdakwa.. memberi senyum dan seperti memeluk erat sekali.. ia seperti berbisik.. terima kasih ayah.. aku bangga pada ayah..  pelukan itu erat sekali.. pelukan yang selalu ia rindukan..  saat seorang pria, seorang anak lak-laki atau seorang suami menjaga kehormatan untuk keluarganya..
percayalah ayah tak ada alasan lain kecuali moralitas dan peradaban untuk masa depan.. setiap bisikan itu ia dengar ia tersenyum dan diam-diam air mata menggenang dipelupuk matanya yang semakin berkerut.. ayah-anak ini seperti tak ingin berpisah dan dipisahkan untuk terus menjaga kehormatan keluarga yang sudah lama diabaikan..
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H