Mohon tunggu...
Ahmad Kaylani
Ahmad Kaylani Mohon Tunggu... -

Sedang berlatih menulis hal-hal kecil dan mudah, hal-hal yang sederhana dan bisa mendapatkan pengalaman baru dari pembaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pahlawan

10 April 2018   23:41 Diperbarui: 10 April 2018   23:51 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Takkan ada hukum formal yang bisa memenuhi aspek keadilan dengan perbuatannya yang tidak hanya merusak keluarga baik-baik dan terhormat. Tetapi menghancur masa depan dan mimpi-mimpi indah keluarga yang dengan susah payah ia bangun.

"Saat aku menghujam pisau yang lama aku simpan, aku melihatnya pria kurus itu bak srigala. Ya, aku menghujam dan mencabik-cabik dengan pisau ini karena ia dalam pandanganku, dalam  dendamku, dalam kemarahanku, ia bukan manusia. Ia bukan ilmuwan. Ia  adalah srigala. Srigala yang telah memakan anak-istriku. Menghancurkan mimpi dan masa depan anak-anakku.

Tidakkah Pak Hakim merasakan.  Saat aku pergi, mencari nafkah. Seminggu tak ada di rumah. Lalu pria bejat itu datang menawar janji.  Saat istriku lengah, ia menerkam dan membunuhnya.

Pantaskah aku membiarkan ia berjalan tenang? Membiarkan srigala itu berkeliaran secara bebas mencari ibu yang sangat dinantikan kasih sayang oleh  anak-anaknya. Ia cabik dengan amat sadis. Lalu dengan sangat tragis ia memangsanya?

Hakim terdiam. Ada perasaan yang sangat dalam merasakan betapa pedihnya hati pria yang kini duduk sebagai terdakwa. Ia teringkat anak sulungnya yang kini entah kemana, lari ke kota lain karena membunuh pria yang merusak kehormatan keluarganya. Ia ingat, seakan anaknya hadir dalam persidangan ini.

Dan bahkan ia hadir dalam setiap sidang di mana kasus-kasus kehormatan ia tangani. Agak aneh, selama menjadi hakim, ia telah banyak membebaskan orang-orang yang melakukan tindakan pidana hingga kematian berdasarkan menjaga kehormatan keluarga.

Sebaliknya ia menghukum termasuk hukum gantung bagi terdakwa yang merusakan kehormatan wanita-wanita yang seharusnya dilindungi dan dihormati. Baginya, menjaga kehormatan keluarga menjadi hal yang utama demi terjaganya nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.

Jika pria-pria jalang dibiarkan merusakan kehormatan, merusak peradaban tak akan ada lagi hukum yang mampu menghentikannya kecuali kematian. Dan orang-orang yang menjaga kehormatan meski berujung pada kematian, ia adalah pahlawan. Pahlawan keluarga. Pahlawan peradaban.

Menjelang matahari terbenam, sidang dinyatakan selesai. Banyak orang yang merangkul pria yang tidak lagi menjadi terdakwa. Ia bebas. Julukan pahlawan yang ditujukan pada pria yang dikelilingi oleh para sanak-keluarganya, berkumandang!! Mereka menangis dan menari, tanda bahagia.

Hakim tua, disudut ruang lain, yang baru saja menyatakan pria itu tidak bersalah, meneteskan air mata. "Aku percaya engkau masih hidup anakku..  pun jika kau sudah mati aku melihat ruhmu ada di pria yang baru saja ayah bebaskan.. pria yang tak pernah padam menjaga kehormatan.. engkau anak baik.. ayah bangga..  pria yang seluruh rambutnya sudah memutih ini entah sudah berapa ratus kali melakukan ritual yang sama.

 Ia merasa anak sulungnya hadir saat ia membebaskan terdakwa.. memberi senyum dan seperti memeluk erat sekali.. ia seperti berbisik.. terima kasih ayah.. aku bangga pada ayah..  pelukan itu erat sekali.. pelukan yang selalu ia rindukan..  saat seorang pria, seorang anak lak-laki atau seorang suami menjaga kehormatan untuk keluarganya..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun