Mohon tunggu...
Ahmad Kaylani
Ahmad Kaylani Mohon Tunggu... -

Sedang berlatih menulis hal-hal kecil dan mudah, hal-hal yang sederhana dan bisa mendapatkan pengalaman baru dari pembaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Galau Karena Sapi

12 Agustus 2015   14:22 Diperbarui: 12 Agustus 2015   14:22 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Aku juga Galau"

 

 Tataplah wajahnya.  Jujur,polos, lugu dan tentu saja pendiam. Tak pernah bicara. Bersuara hanya seperluhya. Pun setiap yang mendengar suaranya tak  indah ditelinga. Tak pernah memberi antusias. Saat bersuara pun orang  menyebutnya “mengeluh”. Betapa terbatas orang menghargainya. Betapa minim orang mengenalnya.  Tetapi mengapa minggu ini ia begitu istimewa?

Jangan pernah menganggap remeh si lemah dan  si polos. Jangan pernah menganggap enteng si lugu dan si pendiam. Sebab saat ia tak ada, saat menghilang dalam pusara kebutuhan semua merasa kehilangan. Semua merasa hidup seperti  tak pasti di masa depan. Dial ah si sapi. Dialah yang dalam satu pekan ini membuat banyak pedagang,  pejabat dan pemimpin galau.

Galau karena sapi sebenarnya memang bukan hanya sepekan dan akan dua pekan ini. Kalau mau buka arsip, galau karena sapi bahkan hampir setiap tahun terjadi. Bahkan seorang Nabi sekaliber Nabi Musa pernah dibuat galau oleh mahluk yang tak berdaya ini. Dalam kisah yang diabadikan Kitab Suci Al Quran dan Alkitab, Nabi Musa yang baru turun dari bukit galau oleh tindakan umatnya yang di pimpin Samiri. Umat yang tak sabar menantinya turun dari bukit karena menuggu wahyu Tuhan malah menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahannya. Mengapa anak sapi? Tentu pada zaman itu sapi menjadi hewan yang paling istimewa.

Bisa jadi sapi adalah mahluk abadi. Tengok saja kebutuhan manusia akan daging dan susu telah berusia ribuan tahun,  seusia manusia di dunia. Tidak hanya itu, sapi juga menjadi mahluk idola masyarakat agraria. Saat mesin traktor belum ada, sapi bersama petani mengolah sawah untuk menanam padi. Demikian istimewanya sapi,  bisa jadi sapi adalah mahluk Tuhan yang banyak pemujanya setelah matahari.

Memang galaunya pejabat dan sejumlah pedagang bakso oleh kelangkaan sapi berbeda histori dan konteksnya. Jika Nabi Musa galau karena ada sapi (emas), pejabat,  menteri dan presiden galau karena kelangkaan dan ketiadaan sapi.  Jika Nabi Musa marah atas pengkhianatan umatnya dengan menyembah anak sapi emas. Rakyat marah atas kelalaian pemimpinnya dengan kelangkaan daging sapi.

Galau karena sapi kini menjadi semacam wabah. Entah untuk mengalihkan isu terhadap semakin tenggelamnya rupiah atas dolar atau media memang sudah jenuh terhadap isu-isu kelas atas. Sapi adalah isu pinggiran yang kini tiba-tiba naik kelas menjadi headline news. Isu kenaikan harga sapi menjadi nasional.

Namun yang menarik, isu kelangkaan sapi yang dibombardir media yang baru berlangsung 2 hari, langsung direspon dengan pemberitaan lain; kapal yang membawa sapi sudah tiba di Tanjung Priok!! Dahysat men!!. Baru teriak dua hari sapi langka, secepat kilat sapi baru sudah mendarat. Banyak yang kaget. Kok bisa ya? Silahkan menafsirkan sendiri fenomena galau karena sapi.

Secara ekonomi,   setiap produk akan mengalami kelangkaan. Lalu  antara kebutuhan (demand) dengan ketersediaan (supply) berjalan tak beriringan. Jika kebutuhan bisa tak terbatas, ketersediaan barang sering terbatas. Entah terjadi secara alami, namun tak jarang kelangkaan karena rekayasa.

Soal sapi, memang harus diakui kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan. Terlebih lagi saat konsumsi masyarakat meningkat, makanan berbahan baku daging sudah menjadi kebutuhan pokok. Ribuan UKM dari kelas kaki lima sampai hotel bintang lima menyediakan produk yang berbahan baku daging sapi. Wajar jika kecepatan kebutuhan dengan ketersediaan selalu tak berimbang.

Membuka kran impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk urusan daging sapi sangat tepat. Tak ada negara yang sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan perut rakyatnya sendiri. Secara teori kebijakan impor  dibuat bukan sekedar memenuhi kebutuhan tetapi juga meredam gejolak harga yang biasanya menjulang tinggi.

Sayangnya, negara sering puas dengan kebijakannya dan tertidur saat otoritas pasokan kebutuhan daging diserahkan ke pelaku usaha. Padahal saat negara hanya mampu menyediakan kebutuhan minimal, negara belum bisa sepenuhnya menyerahkannya pada “mekanisme pasar.” Posisi negara yang lemah atas sebuah produk yang menjadi kebutuhan pokok rakyatnya harus banyak melakukan evaluasi dan sesering mungkin melakukan intervensi.

Mengapa? Karena godaan kekuasaan yang dimiliki pelaku usaha sering lahir dari lalainya negara melakukan evaluasi dan intervensi. Sejumlah kasus di mana barang-barang menumpuk di pelabuhan menjadi salah satu cara penghentian pasokan dan penumpukan barang agar poduk tersebut hilang di pasaran.

Kini saatnya negara membuka mata lebar-lebar atas atas semua kebutuhan pokok yang berbasis impor. Gula, garam, bawang putih, BBM,  daging sapi  dan sebagainya punya potensi yang sama dan punya masalah yang sama tentang kelangkaan dan harga. Negara konsumen seperti Indonesia bisa diibaratkan raja yang dikudeta. Saat kebijakan impor tak mudah dikeluarkan hampir semua negara yang memiliki produk berusaha merayunya. Bahkan mereka menerapkan prinsip “pembeli adalah raja”. Namun ketika uang atau wewenang sudah berpindah, gelar raja hanya berlaku dalam sesaat. Hari-hari yang panjang sang raja menjadi sandera dan pesakitan.

Kita butuh pemimpin atau presiden yang mampu membaca sejarah kelangkaan dan sejarah kejahatan atas produk yang menjadi kebutuhan pokok rakyat. Sehingga ia cepat bereaksi dan harusnya melakukan antisipasi jauh sebelum teriakan rakyat menjadi ancaman.

Kita juga butuh pemimpin yang cepat melakukan langkah dan tindakan agar rakyat tahu bahwa mereka masih punya Presiden yang bisa memecahkan masalahnya. Jika tidak, akan muncul banyak Samiri, si pembuat sapi emas, yang tak sabar menunggu kepastian wahyu dari Nabi Musa. Tindakan Samiri,  meski bisa jadi melawan hukum namun diikuti oleh rakyat yang   sudah tidak sabar  membutuhkan kepastian Nabi Musa sebagai pemimpinnya.

Dalam banyak situasi, saat pemimpin atau Presiden lambat bertindak, Samiri-samiri yang berusaha menawarkan alternative berdatangan. Bukan salah mereka jika kemudian langkah yang bisa jadi melawan hukum dilakukan. Namun apapun kondisinya seorang pemimpin harus hadir di tengah masalah rakyatnya. Bukan pemimpin yang ikut-ikutan galau saat melihat rakyat yang memilih dan memujanya tengah galau. Apalagi jika galau karena sapi, engga keren kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun